Jumat, 25 Juni 2010

Hitam Putih Afrika Selatan

Warga kulit hitam dan putih di Afsel bisa membaur lebih kental selama Piala Dunia 2010.

SEJARAH Afrika Selatan (Afsel) seolah tak lepas dari goresan warna hitam dan putih. Sejak ditemukan penjelajah Portugal, Bartolomeu Duas pada 1487, konflik kulit putih dan hitam mulai terjadi. Apalagi ketika Belanda melakukan penjajahan pada 1652 yang dipimpin Jan van Riebeeck.

Perbudakan mulai terjadi. Bahkan, selain orang asli, Belanda juga membawa budak-budak dari Madagaskar dan Indonesia. Semakin banyak orang kulit putih di Afsel, semakin banyak pula konflik hitam dan putih. Ditambah hadirnya Inggris pada 1806 sebagai penjajah baru, konflik semakin meluas.

Warga kulit putih keturunan Belanda, Perancis, dan Jerman (Boer) harus meninggalkan Cape Town dan pindah ke pedalaman. Mereka pun semakin sering terlibat peperangan dengan warga lokal berkulit hitam baik suku Zulu maupun Xhosa. Perang antara Inggris dan warga Boer pun mewarnai sejarah Afsel.

Hegemoni kulit putih akhirnya memunculkan garis demarkasi dan polarisasi yang jelas antara hitam dan putih di Afsel. Segregasi lewat politik Apartheid sangat jelas memisahkan hitam dan putih, hingga akhirnya masih terasa meski Apartheid sudah dihapus sejak 1994.

Afsel kini, secara ekonomi, rasanya juga masih dalam kerangka hitam-putih. Afsel termasuk negara paling maju di Afrika, bahkan standar kehidupannya kadang mirip Eropa. Gross domestic product (GDP) Afsel mencapai 287,219 miliar dolar AS per tahun. Sebuah kondisi ekonomi yang cukup mengagumkan.

Namun, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Perbedaan itu sangat jelas terlihat. Bahkan, data statistik menunjukkan, seperempat dari 49.320.000 penduduk di Afsel terhitung pengangguran. Mereka jelas dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan.

Selain itu, tujuh juta lebih warga berstatus homeless alias gelandangan. Mereka tinggal di bekas-bekas kontainer atau di pinggir-pinggir jalan. Bahkan, di Olieventeinhoud terbentang hamparan rumah-rumah dadakan. Ada yang bekas kontainer, ada pula yang membangun dengan bahan seadanya. Ini memang perkampungan warga miskin yang terhitung gelandangan.

Maka, secara kultural pun terkadang terasa hitam dan putih. Di satu sisi, peradaban Afsel begitu maju. Cara hidup dan kehidupan warga Afsel, terutama warga kaya (baik berkulit hitam maupun putih), tak ubahnya kehidupan negara Eropa maju. Ke mana-mana pakai mobil, makan di kafe atau restaurant mahal, pakaian serba rapi dan mahal, dan gaya hidup kelas tinggi. Rumah mereka juga tertata rapi layaknya di Eropa.

Namun, di sisi lain, masih terlihat juga gaya hidup serampangan, kehidupan Senin-Kamis. Sebuah kontradiksi yang terkadang amat terlihat.

Jika merasakan budaya di jalanan, rasanya sangat nyaman. Semua orang berkendara dengan rapi dan tertib. Benar-benar standar negara maju. Semua sepertinya sudah tahu bagaimana berkendara dengan baik, tanpa harus dieteriaki atau dibel. Bahkan, orang Afsel jarang menggunakan bel mobilnya, karena memang tak terlalu perlu. Semua berjalan dengan rapi, penuh budaya tinggi.

Namun, di sisi lain masih ada budaya bar-bar. Kriminal begitu tinggi dan bisa terjadi di mana saja dan kapan saa. ATM bisa dibom dan dibawa brankasnya. Jalan-jalan di kota tak pernah merasa aman, karena kejahatan sepertinya selalu mengincar. Sehingga, jarang ada orang jalan-jalan menikmati suasana kota.

Rasa aman yang sangat minim membuat warga Afsel begitu paranoid. Mereka membangun jaringan keamanan di rumahnya yang terkadang sangat berlebihan, seolah negara dalam suasana perang. Tapi, memang kenyataannya sebenarnya negara dalam keadaan perang melawan kriminal.

Secara sosial, ternyata juga masih ada polarisasi. Terutama polarisasi antara kulit hitam dan putih masih terlihat jelas. Di wilayah tertentu masih didominasi kulit putih. Sementara wilayah lain didominasi kulit hitam. Artinya, pembauran yang diharakan pemerintah Afsel masih jauh dari harapan. Garis hitam dan putih warisan Apartheid itu masih ada dan terlihat nyata.

Sinisme hitam-putih jugasering masih terasa. Seorang keturunan Skotlandia kepada Kompas mengatakan dengan sinis, "Lihat itu, apa maksud mereka menari-nari sambil meniup terompet keras-keras," kata pemuda kulit putih itu mengomentari sekelompok pemuda kulit hitam yang menari khas Afrika seusai membela timnas Afsel.

Sebaliknya, orang kulit hitam juga akan sinis terhadap budaya atau keberadaan kulit putih. "Orang kulit putih terkadang masih merasa berkuasa. Mereka masih begitu arogan. Sekarang semuanya sama dan setara. Mereka tak bisa congkak lagi," katanya.

Pembentukan komunitas-komunitas pun masih berdasarkan warna kulit. Komunitas motor besar Harley Davidson, misalnya, 99 persen beranggotakan kullit putih. Sementara kulit hitam juga punya komunitas sepeda motor besar non-Harley.

Lalu, Piala Dunia 2010 diharapkan menjadi alat pembauran. "Different trib, one pride, one win." Demikian slogan pemerintah. Dengan Piala Dunia, diharapkan semua rakyat Afsel dari semua suku dan warna kulit merasa satu sebagai Afrika Selatan, pendukung Bafana Bafana.

Di Fan Fest atau stadion, pembauran itu terasa. Orang Afsel baik hitam atau putih bisa menyatu dalam selebrasi, nyanyian, tarian, dan raungan dengan Vuvuzela. Ini akan menjadi menarik jika pembauran sporadis akibat Piala Dunia itu berimmbas ke pembauran secara politis, ekonomi, sosial, dan budaya.

Siapa tahu, olahraga, dalam hal ini sepak bola, justru mampu membangun peradaban bangsa lebih baik. Sebab, harusnya tak ada vested interest di sepak bola. Mungkin tak besar efeknya. Tapi, setidaknya Piala Dunia 2010 mengkondisikan pembauran di Afsel. Setidaknya, semua bersatu tanpa rikuh, tanpa mengingat sejarah permusuhan, tanpa merasa saling hegemonis, tetapi satu Afrika Selatan.

Siapa tahu, sejak Piala Dunia 2010 semuanya akan melebur dan tak perlu lagi ada garis hitam-putih di semua bidang. Afsel menjadi Unity in Diversity, seperti moto bangsa itu. Artinya, bersatu dalam perbedaan, Binneka Tunggal Ika.

Lewat kebersamaan dan persatuan, siapa tahu jurang kaya-miskin tak lagi lebar. Perbedaan cara hidup berubah menjadi merata dalam standar yang manusiawi. Pergaulan menjadi lebih indah dan memesona. Keteangan lebih terbangun, tanpa harus merasa was-was di setiap saatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar