Jumat, 25 Juni 2010

Krisis Keuangan, Sepak Bola, Moral

Pemain sayap tim Perancis, Franck Ribery, menuju pesawat di Bandar Udara Bloemfontein. Tim Perancis pulang awal setelah tersingkir dari persaingan Grup A Piala Dunia 2010. Dari tiga laga, Perancis dua kali kalah dan sekali bermain seri.

"Tanggung jawab yang lebih besar ada pada kalian semua begitu kalian mengenakan kostum nasional Perancis. Tanggung jawab itu, yakni melakukan hal terbaik dalam sepak bola, menjadi contoh karena Anda ditonton. Banyak anak-anak, remaja yang bermain sepak bola dan menjadikan kalian semua sebagai contoh, sebagai idola."

Demikian antara lain kata-kata Menteri Olahraga Perancis Roselyne Bachelot di depan tim sepak bola Perancis pasca-kasus Nicolas Anelka di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Senin. Perancis, juara dunia 1998 dan finalis Piala Dunia 2006, akhirnya tersingkir di babak awal Piala Dunia 2010.

Ungkapan Bachelot ini bermakna sangat dalam sekaligus menggambarkan apa yang sedang terjadi di Eropa belakangan ini. Terjadi krisis multidimensi. Krisis keuangan melanda Yunani dan sedang mengancam Italia, Irlandia, Portugal, dan sejumlah negara Eropa lainnya.

Kondisi gaji dipotong, ancaman pengangguran, harga-harga bertambah, membuat warga Eropa benar-benar di bawah tekanan sosial ekonomi. Dalam situasi begini, sebenarnya menikmati sepak bola, apalagi merasakan kemenangan tim sepak bola mereka lewat permainan cantik dan elegan, menjadi alternatif pelepas dari semua tekanan.

Namun, para pemain Perancis pada Piala Dunia 2010 ini tidak memahami semua ini. Mereka tidak memahami bahwa mereka menjadi idola, harapan, hiburan tidak saja bagi anak-anak, tetapi juga sebagian besar penikmat sepak bola di mana saja, khususnya di Eropa.

"Sepak bola Perancis menghadapi sebuah bencana moral," ujar Bachelot. Ulah Anelka dan teman-teman di Afrika Selatan membuat mereka tidak lagi menjadi idola, contoh bagi banyak orang, terutama anak-anak.

Sebenarnya, apa yang dilakukan Anelka ini juga sebuah contoh buruk yang juga tak boleh dilakukan siapa saja yang menjadi bintang, entah bintang film, sepak bola, sinetron, penyanyi, atau politisi.

Tak heran, caci maki datang begitu tim nasional Perancis kalah dan harus pulang lebih awal dari Afrika Selatan. Caci maki semakin bertubi-tubi pada saat sepak bola menjadi muara dari pelepasan tekanan ekonomi dan sosial yang tengah melanda Eropa akibat krisis keuangan.

Kinerja buruk

Cerita buruk yang melanda tim "Les Bleus" ini puncak dari krisis prestasi yang melanda sebagian besar tim Eropa daripada negara Amerika Latin. Kinerja buruk ini kembali menambah tekanan bagi para penikmat sepak bola di sana.

Sampai Senin (21/6/2010) lalu dengan setengah dari 64 pertandingan pada putaran final Piala Dunia 2010 ini sudah berlangsung, tim-tim asal Amerika Latin tak terkalahkan dibandingkan dengan tim sepak bola dari benua lain. Dari 10 pertandingan, tim asal Amerika Latin memenangi delapan laga dan dua laga lainnya berakhir seri.

Tim-tim Eropa yang seharusnya menjadi favorit ternyata jauh dari harapan. Tim asal Afrika hanya mencatat satu kemenangan saat Ghana mengalahkan Serbia, 1-0, di Pretoria, 13 Juni.

Pelatih Argentina Diego Maradona sempat berkomentar. "Kualifikasi (Piala Dunia) di Amerika Selatan lebih kompetitif dibandingkan dengan di Eropa. Saya sangat yakin, Ekuador pun sebenarnya bisa tampil di sini," ujar Maradona di depan wartawan di Pretoria menjelang tanding melawan Yunani.

Ekuador, yang ikut dalam dua putaran final Piala Dunia terakhir, tahun lalu mengalahkan Argentina, 2-0, pada saat babak kualifikasi. Ekuador berada di urutan keenam dari 10 negara, di bawah level untuk play off. Uruguay kemudian lolos ke Afrika Selatan setelah mengalahkan Kosta Rika dalam play off.

"Tim-tim Amerika Selatan memperlihatkan di Piala Dunia bahwa mereka tampil dengan standar kualitas yang semakin baik," ujar Maradona. Carlos Alberto Parreira, yang membawa Brasil meraih Piala Dunia 1994 dan kini melatih Afrika Selatan, membenarkan Maradona.

Berbeda dengan tim-tim besar asal Eropa, kecuali Belanda dan Portugal yang cukup meyakinkan, kesebelasan lainnya melempem. Inggris yang menjadi negeri asal-usul sepak bola hanya bisa dua kali seri. Begitu juga Italia, juara dunia 2006. Jerman bahkan sekali kalah. Spanyol juga senasib. Lupakan saja Perancis.

Kembali lagi soal ulah pemain dan tersingkirnya Perancis, perjalanan tidak mulus sebagian besar tim sepak bola asal Eropa di Piala Dunia 2010 menunjukkan betapa krisis keuangan di benua itu juga melanda tim sepak bola mereka.

Serba wah

Kini ulah para pemain menghina pelatih sebagaimana kasus Anelka juga tak lepas dari pengaruh uang dan kehidupan serba wah yang dinikmati para pemain yang memang banyak dibayar mahal oleh klub-klub di Eropa. Anelka merupakan salah satu pemain termahal di Chelsea (Inggris).

Hidup serba wah membuat beberapa pemain besar kepala. Tidak lagi melihat bahwa mereka merupakan contoh, idola dari banyak anak-anak dan remaja. Siaran televisi yang demikian intensif membuat mereka merasa hanya sebagai bintang, tak peduli ulah dan tingkah laku yang harusnya dijaga. Sebuah bencana moral.

Lepas dari krisis tadi, tetapi mengapa tim-tim Eropa kesulitan menghadapi tim-tim non-Eropa pada kancah Piala Dunia 2010? Bukan sebuah alasan mutlak, tetapi banyaknya pemain dari benua non-Eropa yang bermain di klub-klub Eropa membuat kekuatan tim negara-negara Eropa sudah bisa dibaca. Apalagi, dengan adanya liputan langsung televisi semua pertandingan klub sepak bola di Eropa.

Apa pun alasannya, apa yang terjadi pada timnas Perancis merupakan bagian dari krisis sepak bola di Eropa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar