Selasa, 22 Juni 2010

Lempar Jauh-jauh Rasisme "Uh-uh-uh"

Samuel Eto'o.

Di tengah kesibukan Piala Dunia 1990 di Roma, Italia, petugas polizia di sana harus pasang mata tajam dan bertindak rada kejam terhadap ratusan pedagang kaki lima ilegal yang kekar, besar, dan sangar. Pedagang tas kulit, kalung, dan gelang manik-manik, serta aksesori hiasan etnik Afro Look yang lagi laris di sana dianggap mengganggu ketertiban umum.

Lengkingan nyaring peluit dan serombongan lelaki hitam lari terngibrit-ngibrit dikejar barisan polisi. Warga di tengah kesibukan ibu kota Italia itu terhibur juga dengan adegan uber-uberan antara pedagang kaki lima (PKL) dan polizia tersebut. Beberapa pemuda-pemudi yang nangkring di Taman Termini, Roma, tepuk-tepuk tangan dan tertawa-tertiwi sambil bersuara ”uh-uh-uh-uuh”.

Adegan dan ejekan suara ”uh-uh- uuh” menjadi pengalaman jamak selama meliput Piala Dunia 1990 Italia. PKL itu terus terang rada mengganggu ketenteraman hati. Lelaki dewasa berkulit hitam yang berdagang barang Afrika, menurut narasumber, umumnya pendatang dari negara Afrika Utara dan Afrika Barat yang merupakan negara bekas koloni Italia atau Perancis. ”Mereka ke sini sebagian bekerja di perkebunan, sebagian ke kota besar dan ikut jaringan perdagangan gelap. Pemerintah Italia resah karena mereka itu diduga terlibat dalam bisnis droga alias narkotika,” ujar sumber Kompas.

”Sejak Kamerun dengan Roger Milla, Francois Omam-Biyik, dan kiper Thomas Nkono menjadi singa perkasa Afrika pertama yang masuk ke arena perempat final Piala Dunia, hal itu bikin banyak orang terkejut karena Kamerun pada laga perdananya mengalahkan Argentina yang mantan juara dunia. Mereka gembira dan hura-hura, pakai nyanyi-nyanyi dengan joget-jogetnya,” ujar sumber. ”Sejak itulah warga Italia secara senda gurau suka menirukan bunyi ”uh-uh-uuh” yang mirip suara kera besar. Ya untuk ejekan rada rasis,” ungkapnya.

”Uh-uh-uuh” lalu menjadi skandal internasional! Bayangkan, setengah stadion penonton sepak bola tiba-tiba kesetanan dan membunyikan koor ”uh-uh-uuh” dengan gelegar tertawaan. Suara penghinaan itu ditujukan terhadap pemain Afrika asal Kamerun, Samuel Fredrik Eto’o (26), tahun 2006. Gerombolan penonton di Stadion La Romareda yang kandangnya Real Zaragoza kompak ber-”uh-uh-uuh” yang dimiripkan suara gorila atau simpanse. Lalu, kaum kurang ajar itu melempar-lempar kacang ke arah Eto’o yang baru menjebol gawang Zaragoza. Eto’o jagoan kulit hitam kesebelasan FC Barcelona tentu saja terhina. Eto’o kontan naik pitam dan protes, juga nyaris keluar lapangan.

Kubu ”El Barca” meminta Eto’o kalem. Celakanya, wasit Fernando Mendez, pemimpin pertandingan ”uh-uh-uuh” itu, melaporkan bahwa insiden itu ”normal” bagi pendukung fanatik pendukung Zaragoza. Namun, Eto’o yang ”pantera negra” dan pichichi alias top scorer-nya Liga Spanyol, selain pemain terbaik Afrika tahun 2003, 2004, dan 2005, mendapat ”dukungan” dari Federasi Sepak Bola Spanyol (REEF). Beberapa penonton ditangkap, diskors tidak boleh ke stadion bola selama lima bulan. Zaragoza pun didenda puluhan juta rupiah.

Warisan lama

Rasisme dan diskriminasi merupakan warisan lama di dalam dunia sepak bola Eropa dan dunia ”putih” lainnya. Olahraga itu menekankan kepada persahabatan, kejujuran, sportivitas, saling menghargai, serta tidak pandang latar belakang ras, suku bangsa, golongan, agama, budaya, dan politik. Makanya, olahraga, khususnya sepak bola, seharusnya tidak memberi ruang dan kesempatan kepada segala aksi diskriminasi dan rasisme. Begitu tegas pernyataan Football Against Racism in Europe (FARE).

Sebab sebelum Eto’o di-”uh-uh-uuh”-kan, kasus rasial terhadap pemain berkulit hitam sudah ada sejak lama. Selain itu, Afrika Selatan sebagai tuan rumah, bersama Nigeria, Pantai Gading, Ghana, Aljazair, dan Kamerun dengan Eto’o yang bintang hitamnya, tentu saja berharap semua berlangsung TKA alias ”terkendali aman” dan tidak ada pihak terpancing jadi negara rasis lagi.

Harap saja maklum, Afsel punya catatan nyeleneh soal sepak bola yang ibola lethu atau ”permainan kita”. Tahun 1892 terbentuk Asosiasi Sepak Bola Afrika Selatan (FASA) untuk pebola kulit putih saja. Selain FASA putih, ada juga asosiasi sepak bola untuk orang India, kulit berwarna, dan bantu alias orang hitam. Tahun 1960, FIFA pernah membatalkan kesertaan Afsel di Piala Dunia. Namun, Afsel tetap ngotot mengirimkan tim ”putih” ke Piala Dunia London 1966 dan mengirimkan lagi tim ”hitam” ke Meksiko 1970.

Kini, di tengah suhu keamanan yang belum jelas, harap saja suara ”uh-uh-uuh” tidak bunyi lagi dan tidak memancing pihak yang merasa dihitam-hitamkan, apalagi disamakan dengan gorila. Gila?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar