Jumat, 25 Juni 2010

Pasukan "Kerajaan Afrika Barat"

Pemain Ghana John Paintsil (kiri) dan Lee Addy, mengibarkan bendera Ghana usai mereka mengalahkan Serbia 1-0 pada laga perdana penyisihan Grup D Piala Dunia 2010, Minggu (13/6/10). Ghana menjadi tim pertama dari benua Afrika yang raih kemenangan di Piala Dunia 2010 ini.

Lihat baik-baik peta Benua Afrika, bentuknya mistis dan multitafsir. Dari 54 negara di tanah besar itu, terpilih enam negara yang dapat jatah adu sepak bola di Republik Afrika Selatan. Dari enam negara peserta yang semuanya berharap bermain bersih, ada empat negara yang sebenarnya "sepupuan" secara geopolitik.

Dari tanah pesisir kawasan Afrika Barat, berjajaranlah dari arah barat: Pantai Gading, Ghana (kemudian di antaranya ada Togo dan Benin), lalu Nigeria yang berbatasan dengan Kamerun. Keempat negara yang "masih se-Tanah Air" tentu sering bertikai politik, tetapi nasib menentukan bertemu di kancah penuh damai sepak bola.

Empat negeri "sepupuan" ini pun sungguh korban telak sejarah yang memecah belah garis demarkasi antarnegara, karena politik scrambled alias rebut-rebutan tanah jajahan, di zamannya manusia berkulit putih itu kemaruk menjadi penjajah kejam kemaruk rebut-rebutan tanah, emas, sumber alam, gading gajah, dan jiwa raga budak hitam yang pribumi negeri jajahannya.

Sudahlah, mari lupakan sejenak sejarah hitam benua ini. Kehadiran keempat pasukan, Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Kamerun, yang kebetulan juga terpisah-pisah posisinya dalam grup Piala Dunia XIX ini, tetapi banyak pemain negara berasal-usul di Afrika Barat itu justru menjadi bintang mahalnya klub sepak bola elite dunia. Dari Pantai Gading tentu ada Didier Drogba, Ghana dengan Asamoah Gyan, Yakubu Ayegbeni dari Nigeria, dan Kamerun dengan Samuel Eto'o.

Itu baru ikon keempat pasukan Afrika Barat, karena terlalu panjang kalau menyebut nama-nama pemain top lainnya yang bertengger di klub-klub mahal Eropa. Sebab, pasukan hitam Afrika sesungguhnya sudah menyepak bola di stadion mewah sejak tahun-tahun awal Piala Dunia. Contohnya pemain Amerika Selatan, khususnya Uruguay yang tahun 1950, kapten tim nasionalnya Obdulio Vareta. Juga pada tahun 1920-an, timnas Uruguay sudah ada pemain hitamnya, seperti Gradin dan Jose Andrade. Pesepak bola kulit hitam itu ikut mengomporin semangat juang Pele, Didi, Vava, Garincha cs dari timnas Brasil untuk hadir dan menjadi juara.

Negara Eropa yang memanfaatkan atlet hitamnya tentu saja timnas Perancis. Sejak tahun 1970 sudah ada Jean-Pierre Adams dan Marius Tresor yang kelahiran Senegal, sebagai duet bek palang pintu sangarnya Perancis. Juga tahun 1984, Jean Tigana asal Mali yang membela nama Perancis. Menyusul tentunya pesepak bola Perancis kelas fenomenal sekaliber Zinedine Zidane asal Aljazair, juga Marcel Desailly dari Ghana dan Patrick Vierra kelahiran Senegal.

Negara yang "aneh" namanya tentu Pantai Gading atau Cote d'Ivoire atau Ivory Coast. Nama terakhir ini menjadi negaranya Didier Drogba, karena catatan sejarah hitam dari satu dari 16 negara Afrika Barat ini, Pantai Gading dulunya memang pelabuhan pengiriman dan gudang gading, berikut budak-budak hitam yang kuli angkut gading gajah itu.

Selain nama negara itu menjadi nama negara, dulunya Ghana juga disebut Pantai Emas atau Gold Coast di zamannya juragan penjajah Inggris. Iya Pantai Emas atau Ghana, karena sejarah menyebutkan Inggris menemukan tambang bijih emas besar-besar, malah pernah satu bijih emas terbesarnya itu tidak bisa diangkut kuda beban.

Negara-negara mantan eksportir budak, gading, dan emas sungguh bekas daerah jajahan Perancis dan Inggris sehingga kini rakyatnya masih berbahasa Perancis atau Frankofon dan Inggris atau Anglofon. Juga negara Afrika Barat yang pasukannya ke Afsel memiliki catatan bagus di mana Senegal menjadi juara Olimpiade 1996 (Senegal), juga Kamerun sebagai juara Olimpiade 2000 dan Ghana sebagai juara Yunior 2009.

Selain empat pasukan negara bertetanggaan di Afrika Barat, Aljazair justru berasal dari negara di ujung "tanduk" barat Benua Afrika, berhadapan dengan Laut Mediterania dan negara Spanyol dan Perancis. Sementara Afsel berada di ujung selatannya Benua Afrika. Di sinilah selama musim dingin Juni-Juli, keenam pasukan Afrika berlaga dengan kobaran semangat, karena di pertandingan pembukaan 11 Juni lalu, Siphiwe Tshabalala (26) dari Afsel justru bikin tol panglaris dan menahan laju Meksiko dengan skor 1-1.

Waktu masih berjalan, sejumlah tim Afrika, seperti Kamerun, Nigeria, dan tuan rumah Afsel, sudah gugur, tetapi sebagian lain, seperti Ghana, Aljazair, dan Pantai Gading, masih berjibaku, bahkan mungkin dengan mantan penjajahnya tanpa niatan balas dendam. Ke-32 peserta ini mau ber-fair play, juga tahu apa artinya persahabatan lintas negara dan budaya, tanpa melihat hitam putih dan warna kulit lawan mainnya. Sejauh ini mereka tidak berniat bikin sekretariat bersama golongan klub bola, atau Sekber Golbol antarpasukan Afrika, Eropa, Amerika, Asia, dan Oceania—tentunya tidak termasuk PSSI yang Pancasila, iyalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar