Kamis, 24 Juni 2010

Semua Berawal dari Rumah Nomor 8115

Rumah Nomor 8115 merupakan tempat tinggal Nelson Mandela ketika memulai perjuangan hingga menjadikan Afrika Selatan, yang dulunya menerapkan politik antiapartheid, sebagai negara demokrasi.

Inilah satu-satunya jalan di dunia yang dihuni dua peraih penghargaan Nobel Perdamaian. Nelson Mandela di ujung yang satu. Uskup Agung Anglikan Desmond Tutu di ujung yang lain pada sisi yang berseberangan. Vilakazi Street di perkampungan Orlando West, yang masuk dalam wilayah masyarakat kulit hitam Soweto di Johannesburg, Afrika Selatan, ini menjadi awal dari gerakan antiapartheid.

Di rumah bernomor 8115 itulah Nelson Mandela hidup sejak tahun 1946 bersama istri pertamanya, Evelyn Ntoko Mase, dan anak lelaki pertamanya. Setelah bercerai tahun 1957, istri kedua Mandela, Nomzamo Winifred Madikizela alias Winnie, menjadi belahan jiwa sekaligus teman seperjuangan yang menemaninya hidup di tempat itu.

Kehidupan Mandela berikutnya di No 8115 tak terlalu panjang. Perjuangannya memaksa dia berpindah-pindah dan sejak tahun 1961 hidup di "bawah tanah", menghindari pengejaran dan penangkapan pemerintah apartheid saat itu. Pada tahun 1962, Mandela benar-benar terpisah dari No 8115 begitu ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup pada tahun 1964.

Setelah sang suami dipenjarakan, Winnie tetap tinggal di No 8115 bersama putri-putrinya. Dari tempat itulah Winnie berulang kali ditangkap dan juga dipenjarakan. Tahun 1977 Winnie dipaksa untuk meninggalkan No 8115, pindah ke Brandfort dan ditetapkan sebagai tahanan rumah hingga tahun 1986.

Apa pun yang terjadi, No 8115 tak pernah terpisahkan dari hati Mandela. Bahkan, untuk menghindari serbuan mendadak polisi, sebuah sekat ditempatkan di tengah ruang makan—yang merangkap sebagai ruang tamu dan ruang keluarga—sekaligus untuk memisahkannya dari dapur mungil.

Seperti juga rumah di sekitarnya, No 8115 hanyalah rumah mungil berlantai semen dengan dua kamar tidur sempit. Lebar kamar pas untuk ranjang ukuran dua orang. Atap rumah tak terlalu tinggi dan jendela mungil. Tiga anak tangga mengantarkan orang masuk ke dalam rumah. Dapur dengan kompor dan cerobongnya terletak di lekukan yang berukuran tak lebih dari 1 meter x 1 meter. Namun, sekecil apa pun rumah itu, bagi Mandela, "Pria baru bisa berarti jika memiliki rumah."

Tak heran jika ia memilih segera kembali ke No 8115 begitu dibebaskan dari penjara pada 11 Februari 1990. Hanya 11 hari menikmati kembali kediamannya, Mandela pindah ke rumah yang dihuninya hingga kini di Houghton.

"Malam itu aku kembali dengan Winnie ke No 8115 di Orlando West. Saat itu baru terasa dalam hatiku bahwa aku telah meninggalkan penjara. Bagiku, No 8115 menjadi titik pusat duniaku, tempat dengan tanda X dalam geografi mentalku," begitu tulis Nelson Mandela soal kepulangannya dari pengucilan selama 27 tahun.

Kini No 8115 diubah menjadi Mandela House, tempat orang mengenang bagaimana kehidupan Mandela saat menginspirasi banyak orang untuk melakukan perlawanan. Seperti layaknya tempat tujuan wisata, jalanan sepanjang Vilakazi Street pun ramai dengan orang mengais rezeki. Beberapa pedagang cendera mata khas Afrika, seperti patung dan pakaian, merentang dari depan rumah Mandela hingga di depan rumah Desmond Tutu. Bahkan, sebelah rumah Tutu telah berubah menjadi restoran. Halamannya yang teduh dipenuhi pengunjung yang dihibur penyanyi akapela.

Berbeda dengan rumah Mandela, rumah Desmond Tutu tak terbuka untuk umum. Dengan pagar dinding tinggi berwarna abu-abu, rumah yang terletak di ujung yang lain dari No 8115 itu terlihat teduh.

Kerusuhan Soweto

Siswa-siswi sekolah dasar siang itu melintas di Vilakazi Street. Wajah mereka ceria, murah senyum, dan mudah akrab dengan orang asing. Ini yang membedakan dengan situasi pada masa apartheid, terutama ketika sebuah kebijakan diterapkan tahun 1974. Adalah WC Ackerman, Direktur Pendidikan Wilayah Transvaal Selatan, yang memicu pecahnya kerusuhan Soweto, 16 Juni 1976. Kerusuhan besar yang membuat pelajar berhadapan langsung dengan polisi.

Foto Hector Pieterson, pelajar berusia 16 tahun, yang terkulai tewas—dibopong kakak laki-lakinya Mbuyisa Makhubu, diiringi kakak perempuannya, Antoinette Sithole yang menangis meraung-raung—menjadi salah satu ikon penting kerusuhan Soweto. Antoinette masih ingat bagaimana saat kerusuhan terjadi, sang adik, Hector, sama-sama bersembunyi.

Kerusuhan berawal dari penolakan pelajar atas kebijakan Ackerman yang mengharuskan siswa belajar bahasa Afrikaans—bahasa yang digunakan warga kulit putih dari turunan Boer dan kerap dijuluki "bahasa Belanda berantakan"—selain bahasa Inggris. Mereka wajib memakai bahasa Inggris untuk ilmu pengetahuan umum dan subyek praktis, sedangkan untuk matematika/aritmatika dan ilmu sosial menggunakan bahasa Afrikaans. Alasannya, pendidikan kulit hitam dibayar oleh pembayar pajak kulit putih yang berbahasa Inggris dan Afrikaans.

Bagi masyarakat kulit hitam, ini merupakan tekanan besar. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa ibu, bahasa suku masing-masing. Belum cukup fasih berbahasa Inggris, kini mereka harus pula belajar dalam bahasa Afrikaans. Penolakan kulit hitam atas dominasi kulit putih dengan politik apartheid kini berbuah menjadi sebuah Afrika Selatan yang demokratis dan menghargai kesejajaran kendati masih belum sempurna. Ini semua berawal dari No 8115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar