Kamis, 24 Juni 2010

Sepak Bola Global

Para pemain Argentina merayakan kesuksesan mereka melangkah ke babak 16 besar Piala Dunia 2010 dengan hasil yang sempurna.

Dalam sejarah, Brasil pernah dijuluki ”mistikus bola”. Dulu pemain-pemain Brasil tak bermain berdasarkan dogma, tata tertib, dan aturan bola yang kaku dan klise. Mereka bermain bola dengan cinta yang berasal dari hatinya dan membelai bola dengan cinta yang mengalir di kaki, kepala, dan dada mereka.

Mereka dan bola menyatu dalam cinta. Tak ada yang dapat memisahkan cinta itu, juga kegagalan atau kekalahan. Oleh karena itu, mereka bermain bola dengan gembira dan tak hanya menargetkan kemenangan semata-mata. Ternyata cinta dan kegembiraan bermain bola sering memperolehkan kemenangan bagi mereka.

Begitulah sepak bola Brasil pada tahun tujuh puluhan. Di kaki pemain-pemain mereka, seperti Pele, Jairzinho, Tostao, dan Rivelino, bola melekat serta kemudian menggelinding seperti air yang maunya hanya mengalir dan mengalir. Pele dan kawan-kawannya seakan telah membebaskan bola dari segala dogma yang membelenggunya.

Apa yang dibuat Pele dan teman-temannya terus dilanjutkan oleh pemain Brasil pada tahun delapan puluhan. Muncullah nama-nama, seperti Zico, Cerezo, Falcao, dan Socrates. Dengan bola, mereka bermain ibarat menari samba di lapangan tengah. Itulah saat romantisme sepak bola Brasil. Kata Socrates, ”Saat itu, dengan bola, kami menyatakan perasaan kami.”

Socrates memang bermain bola dengan tidak netral. Ia bermain bola dengan membawakan perasaan rakyat Brasil. Socrates sendiri dikenal bukan sekadar pemain bola, tetapi juga aktivis politik. Ia berusaha untuk tak memisahkan antara bola dan perjuangan demokrasi. Sebagai pemain klub Corinthians Sao Paulo, ia berjuang agar demokrasi juga ditegakkan dalam dunia bola.

Maka ia menentang politik ”Keamanan dan Ketertiban”, yang diagul-agulkan rezim pengurus Corinthians yang pada waktu itu sangat otoriter, oportunis, dan paternalistis. Bersama rekan-rekannya, ia ingin agar terjadi demokratisasi dalam hal relasi di antara klub, fans, pemain, dan pelatih.

”Entah menang entah kalah, pokoknya harus selalu dengan demokrasi,” begitulah bunyi slogan Corinthians pada waktu itu. Dan Socrates sendiri bilang, ”Saya berjuang untuk kebebasan, respek terhadap manusia, kesetaraan, hak bicara yang tak dibatasi, dan demokrasi yang profesional.” Sebagai pemain bola, ia bertekad untuk membela dan memperjuangkan nilai-nilai itu dalam permainan yang menghibur, menggembirakan, dan menyenangkan.

Ternyata pada zaman Socrates, sepak bola tidaklah netral. Sepak bola memihak nilai-nilai yang menjadi ciri khas dan pilihan masyarakatnya pada waktu itu. Kini tampaknya sepak bola yang memihak nilai itu perlahan-lahan punah dan menjadi netral semata-mata.

Dalam Piala Dunia 2010 ini, Brasil sendiri dituduh telah mengkhianati ciri khasnya. Tak ada cinta akan bola pada diri mereka. Yang ada hanyalah target kemenangan semata-mata. Mantan Pelatih Brasil Carlos Alberto Torres mengamati, ”Selecao” di bawah Dunga tak lagi bermain dengan etos permainan Brasil, tetapi dengan etos pertahanan yang rapat terkunci dan serangan balik.

Brasil memang telah mengalahkan Korea Utara, 2-1. Namun, mereka bermain dengan apa adanya, tanpa kesegaran dan gairah. Brasil seperti sayur yang sedang layu. Mereka mengalahkan lagi Pantai Gading, 3-1. Namun, kemenangan tidak mereka peroleh dengan sihir bola yang magis, tetapi bertempur dengan rasa takut terhadap lawan, sampai akhirnya mereka larut dalam permainan yang keras.

Dalam Piala Dunia kali ini, tak hanya Brasil yang kehilangan identitasnya. Belanda pun menderita yang sama. Belanda tak memainkan lagi total football-nya. Mereka hanya bermain efisien saja. ”Kesebelasan ’Oranje’ memang tak bermain dengan baik, tetapi memperoleh hasil yang baik, “ kata Lothar Matthaeus. ”Belanda bermain dengan cara Jerman,” tambahnya.

Menurut komentator bola, Roland Zorn, Piala Dunia 2010 ini telah menjungkirbalikkan asumsi yang hidup selama ini. Belanda bermain seperti Jerman. Adapun Jerman sendiri menderita kekalahan pada saat awal, persis seperti sering dialami Belanda pada masa lalu. Di luar dugaan, Argentina malah menyulap bola, seperti yang biasa dikerjakan Brasil. Sementara Brasil malah membela gawangnya dengan sistem pertahanan yang khas Italia saat Italia berjaya dengan catenaccio-nya.

Inggris dan Perancis seperti tak lagi mengenal siapa diri mereka. Mereka seperti pemain drama yang ketika tampil di panggung akbar lupa akan teks yang telah dihafalkannya. Dan pemain-pemain Afrika tak lagi menghayati permainan bola seperti anak-anak manusia yang bermain dengan bebas dan gembira.

Dengan sedikit nuansa perbedaan yang nyaris tak kelihatan, tim-tim dunia itu menampilkan permainan yang netral dan nyaris sama: tak memihak suatu nilai, tak mempunyai identitas, tak indah, membosankan, dan asal menang.

Sesungguhnya dengan memilih Afrika Selatan, FIFA mengharapkan sepak bola akan menampilkan warnanya yang lokal, khususnya bagi kesebelasan Afrika sendiri. Namun, ternyata yang tampak adalah sepak bola yang nyaris sama: sepak bola global. Jangan-jangan dalam bola pun kini ikut terkutuk oleh ramalan John Naisbitt: Makin lokal, dan makin global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar