Selasa, 22 Juni 2010

Tragika Sepak Bola Afrika

Legenda sepak bola Kamerun, Roger Milla.

Dua puluh tahun lalu, publik bola bergetar karena aksi pemain gaek Kamerun, Roger Milla. Tak akan orang lupa betapa indah gerakan Milla ketika Kamerun menaklukkan Kolumbia dalam putaran kedua Piala Dunia 1990 di Italia. Milla membelai bola dari lapangan tengah, menggiringnya, lalu mengelabui kiper tangguh Rene Higuita.

Milla lantas lari ke pojok lapangan, kemudian menggoyang-goyangkan pantatnya. Goyangan itu adalah bagian dari folklore Afrika. Namun, sekaligus goyangan itu adalah keyakinan Milla bahwa inilah saatnya tim Afrika bicara. Milla benar. Untuk pertama kalinya Kamerun, wakil Afrika itu, masuk ke perempatan final walau akhirnya di Napoli mereka dikalahkan Inggris, 3-2.

”Jika kami dapat mengalahkan Inggris, seluruh Afrika akan meledak. Sungguh meledak dan kiranya akan berjatuhan korban di sana. Dengan segala kebaikan-Nya, Tuhan tahu, apa yang harus diperbuat-Nya. Secara pribadi saya berterima kasih kepada Tuhan bahwa Dia menyetop kami di perempat final,” kata Milla.

Kiranya dengan kata-kata itu, Milla ingin menyampaikan, jangan Afrika terburu menjadi besar sebelum waktunya. Memang, dunia bola Afrika masih harus melewati proses yang panjang untuk benar-benar menjadi matang. Dan, 20 tahun lamanya sejak Piala Dunia 1990, Afrika mencoba dewasa melalui proses itu. Lalu, tibalah Piala Dunia 2010, saat di mana Afrika ingin menunjukkan dirinya sebagai benua bola yang benar-benar matang.

Maka, dalam Piala Dunia 2010 ini pemain-pemain Afrika sesumbar, sekaranglah saatnya dunia bola mencelikkan matanya akan kehebatan Afrika. Dan, salah satu pemain Afrika yang yakin akan hal tersebut adalah kapten Kamerun, Samuel Eto’o. Dalam wawancara dengan Christian Ewers, yang menulis buku tentang seluk-beluk dan tragika sepak bola Afrika (2010), Eto’o mengatakan bahwa Ghana, Pantai Gading, dan Kamerun sudah matang untuk meraih titel.

”Kami telah belajar bahwa bola lebih daripada sekadar bermain di lapangan 90 menit lamanya. Memang lebih dari itu kami masih harus mengerjakan macam-macam. Kami membutuhkan persiapan, dokter, psikoterapis, hotel yang nyaman, dan jalur pesawat udara yang lancar. Jika kami ingin berhasil, semua itu harus dibuat klop sampai sedetail-detailnya, Dengan perih kami telah mempelajari semua itu. Dulu tim-tim Afrika memang dilanda kaos. Sekarang semuanya telah berlalu,” kata Eto’o.

Eto’o melanjutkan, selama bermain di Eropa, ia sendiri mati-matian belajar menjadi profesional. ”Saya berusaha untuk selalu rajin, tepat waktu, matang mempersiapkan pertandingan, dan tegas dalam meninggalkan alasan-alasan klise yang menghambat kemajuan,” katanya.

Eto’o yakin, pemain-pemain Afrika lain, seperti Didier Drogba, Michael Essien, dan Emmanuel Adebayor, juga melakukan hal yang sama. ”Kami akan bisa menjadi cahaya bagi Afrika. Ya, betapa bola menyimpan daya luar biasa di benua ini. Bola bukan sekadar permainan, melainkan juga simbol, sekaligus kartu masuk untuk mempropagandakan Afrika. Bola mengatakan banyak tentang benua kami: siapa berhasil dalam bermain bola, ia tidak dapat lagi hidup di balik bulan, ia menjadi modern, dan akan menjadi manusia yang diperhitungkan,” kata Eto’o.

Eto’o melambungkan impiannya setinggi bulan. Ternyata kini impiannya tentang Afrika itu runtuh. Tampak wakil-wakil Afrika di Piala Dunia ini tak memperlihatkan bahwa mereka telah matang untuk berbangga tentang benua mereka. Nigeria terpental dan Afrika Selatan nyaris tersisih. Dan, Kamerun sendiri di bawah Eto’o tak menunjukkan diri sebagai singa yang lapar. Malah setelah digasak Jepang 0-1 dan didinamit Denmark 1-2, Eto’o dan kawan-kawannya terdepak dari perhelatan bola di benua mereka sendiri. Hancurlah sudah harapan Afrika. Kalau toh masih ada, harapan itu secara nyata tinggal diletakkan di bahu kesebelasan Pantai Gading.

Itulah tragika sepak bola Afrika. Dengan amat tajam, tragika itu diuraikan oleh Christian Ewers di dalam bukunya. Menurut Ewers, sepak bola Afrika menyimpan banyak luka. Luka itu terjadi karena sejarah dan karena tarik-menarik kekuatan yang terjadi dalam diri pemain-pemain Afrika sendiri. Di satu sisi mereka sangat mencintai Afrika dan ingin memberi diri bagi Afrika, tetapi di lain pihak, mereka bermimpi dan ingin hidup seperti pemain-pemain Eropa sehingga mereka tercerabut dari akar Afrika.

Kebanyakan pemain Afrika membayangkan, mereka dapat meninggalkan kemiskinannya jika mereka boleh bermain di Eropa. Hati mereka tak pernah terikat di Afrika karena yang mereka impikan adalah kelimpahan dan glamour kehidupan di Eropa. Menurut Ewers, kemenduaan tersebut kiranya bisa diterangkan dari teori penulis dan psikiater Franz Fanon tentang kejahatan kolonisasi: di satu pihak, mereka yang terjajah benci terhadap tuan-tuan yang menjajah, tetapi di lain pihak, dunia tuan-tuan penjajah menjadi impian mereka dan mereka pun ingin hidup seperti tuan-tuan penjajah. Kiranya, tragika itu jugalah yang menjungkalkan impian sepak bola Afrika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar