Selasa, 29 Juni 2010

Berharap Hujan Gol di Afsel

Kiper Jerman, Manuel Neuer (tengah), menyaksikan bola menyentuh jala gawangnya setelah gol Serbia oleh Milan Jovanovic. Laga di Stadion Nelson Mandela Bay itu dimenangi Serbia, 1-0.

APA yang kita harapkan dari Piala Dunia? Tentu saja gol yang banyak plus permainan indah. Lalu apa yang kita dapatkan di putaran pertama Piala Dunia 2010? Gol yang minim, dan celakanya, gaya permainan pragmatis.

Jumlah gol dari tiap pertandingan pada babak penyisihan grup rata-rata 2,1 gol. Empat tahun yang lalu lebih baik, rata-rata 2,3 gol di setiap laga. Delapan tahun lalu, produktivitas gol 2,5 bola di setiap laga, dan pada 12 tahun ke belakang, setiap pertandingan bisa menghasilkan 2,7 gol. Dari angka-angka statistik yang dianalisis kolumnis sepak bola Michael Cox itu, bisa diketahui kecenderungan penciptaan gol semakin turun.

Jumlah gol semata wayang juga mendominasi 48 laga penyisihan grup Piala Dunia 2010. Jika diurai lebih detail, ada enam laga tanpa gol; 13 laga dengan satu gol; 12 laga menghasilkan dua gol; sembilan laga dengan tiga gol; lima laga dengan empat gol, dua pertandingan menghasilkan lima gol. Tercatat hanya ada satu laga yang menyuguhkan tujuh gol, yaitu saat Portugal membantai Korea Utara 7-0.

Singkat kata, pada 48 laga awal putaran pertama, hanya tercipta 13 gol yang menempatkan produktivitas gol terendah sejak 1978. Ketidakmampuan 32 tim peserta Piala Dunia menang besar juga mengurangi gereget empat tahunan ini. Bola baru Jabulani, yang salah satu tujuan desainnya untuk memperbanyak gol, tidak banyak menolong penciptaan gol. Jabulani justru menjadi kambing hitam para pemain karena sulit dikontrol.

Pada putaran pertama, hanya Jerman yang mampu menyuguhkan kemenangan besar saat menekuk Australia 4-0. Mungkin ini memang karakter Jerman di laga awal. Pada 2006, Jerman juga berpesta pada laga awal, saat melibas Kosta Rika 4-2. Delapan tahun lalu, Jerman menghujani gawang Arab Saudi dengan delapan gol tanpa balas.

Laga antara Portugal dan Korut juga menghasilkan tujuh gol, terbanyak selama putaran pertama Piala Dunia 2010. Ini juga menunjukkan, pola bertahan tak selalu berkorelasi dengan jumlah gol yang sedikit. Australia memasang enam pemain di belakang saat bertahan menghadapi serangan Jerman. Begitupun Korut.

Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa Piala Dunia kali memiliki pola yang relatif seragam, bertahan ketat dan rapat kemudian mengambil keuntungan melalui serangan balik. Apakah ini merupakan demam Jose Mourinho yang menerapkan strategi serupa untuk membawa Inter Milan memenangi Liga Champions musim 2009/2010?

Permainan pragmatis seperti gaya Mourinho terbukti efektif dan membawa hasil meskipun saat bermain dengan 10 pemain. Orientasi pada hasil inilah yang merebak di Piala Dunia.

Curi kemenangan

Keinginan kuat menghindari kekalahan mendorong tim-tim yang tidak diunggulkan cenderung bermain pragmatis. Mereka bertahan untuk mencuri kemenangan dari tim kuat, seperti dilakukan oleh Swiss saat mencuri satu gol dari Spanyol.

Uruguay dan Paraguay juga sukses menerapkan strategi itu saat menghadapi Perancis dan Italia. Tim nasional Denmark yang menerapkan pola bertahan ketat kurang beruntung saat melawan Belanda. Demikian juga Korut yang ditekuk Brasil meski sempat membuat frustrasi Robinho, Luis Fabiano, dan Ricardo Kaka pada babak pertama.

Kecenderungan untuk bertahan secara ketat dan rapat, menurut Cox, disebabkan gaya bermain tim-tim unggulan yang mengandalkan serangan balik.

Para pemain yang memiliki kecepatan dan kelincahan gerak akan lebih mudah menyerang langsung ke jantung pertahanan lawan jika punya ruang gerak lebih luas di belakang bek lawan. Ya, filosofi serangan balik pun kembali populer seiring orientasi pada hasil. Gaya bermain tim-tim nonunggulan itu menjadi salah satu penyebab minim gol.

Faktor lain adalah tim-tim kuat seperti Perancis, Italia, Brasil, Spanyol, dan Belanda terkesan gagal menunjukkan ambisi dan kemampuan menyerang mereka. Ketajaman pemain mereka saat membela klub profesional seolah luntur. Mereka kesulitan mengembangkan kreativitas serangan sehingga kering gol.

Kasus kekalahan telak 0-4 Australia atas Jerman bisa menjadi kunci menembus kebuntuan gol. ”The Socceroos” yang bertahan total ternyata sukses juga dijebol oleh pemain Jerman yang mengepung pertahanan lawan. Aliran bola mengalir dari sayap yang memiliki ruang lebih banyak untuk bergerak.

Gerakan mengepung pertahanan oportunis itu juga dilakukan Mauro Camoranesi untuk membongkar pertahanan Paraguay. Italia pun bisa menyamakan kedudukan 1-1.

Permainan pragmatis di putaran pertama itu semoga tak terulang pada babak 16 besar. Bertahan tidak salah, tetapi ada keindahan yang hilang saat satu sisi enggan beranjak dari kotak 16. Saatnya pesta bola terakbar ini juga diiringi pesta gol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar