Rabu, 30 Juni 2010

Invasi Pemain Asing Ikut Andil atas Jebloknya Prestasi Tim Inggris

Suporter Inggris menangis menyaksikan kesebelasannya dihancurkan Jerman pada perdelapan final Piala Dunia 2010. Kekecewaannya mewakili ribuan talenta pemain Inggris yang tersingkir di Liga Primer karena didominasi pemain asing.

SEUSAI menandatangani kontrak dengan Manchester City, bek asal Kroasia, Vedran Corluka, berkata bahwa ia sangat bangga. ”Setiap anak di Kroasia bermimpi bermain di Liga Primer dan mimpi saya menjadi kenyataan. Saya datang ke tim yang sangat besar, Manchester City,” kata Corluka.

Benarkah demikian? Benarkah setiap anak di negara-negara seperti Kroasia, Brasil, Argentina, Perancis, Spanyol, Kamerun, Nigeria, dan Pantai Gading memang bangga dan bermimpi ingin bermain di Anfield, Old Trafford, atau Stamford Bridge?

Jawaban sejujurnya, takutnya, seperti apa yang diberikan oleh seorang penjahat terkenal Amerika Serikat, Willie Sutton. Saat ia ditanya mengapa ia merampok bank, Willie menjawab: ”Karena di situlah uang berada.”

Liga Primer Inggris, seperti yang telah dikenal saat ini, disebut sebagai kompetisi terbaik di dunia. Ini adalah kompetisi yang paling banyak menghasilkan uang dan sejumlah klub terkaya dunia berasal dari Inggris.

Siapa tak kenal Manchester United, Chelsea, Arsenal, atau Liverpool? Pendapatan semusim klub-klub Liga Inggris itu pada musim 2008/2009 saja mencapai 1,981 miliar poundsterling (sekitar Rp 26,2 triliun).

Namun, dengan kompetisi yang begitu rapi, prestasi klub yang mengilap, duit yang melimpah, mengapa tim nasional Inggris hancur lebur saat tampil di turnamen besar? Mengapa tim ”Three Lions” dipermalukan di Afrika Selatan?

Di luar masalah tekanan, mental, faktor keberuntungan, kelelahan pemain karena ketatnya jadwal kompetisi, dan kesalahan taktik, salah satu penyebab yang sering disebut adalah dominasi pemain asing di Liga Primer.

Pemain asing berlomba-lomba ke Liga Inggris karena iming- iming ketenaran dan gaji tinggi. Michael Ballack bergaji lebih dari 100.000 poundsterling (Rp 1,3 miliar) per pekan. Bahkan, Lucas Neill, ya Lucas Neill asal Australia, pernah digaji hingga 70.000 poundsterling (hampir Rp 1 miliar) per pekan.

Pemain-pemain asing, seperti Corluka, kini menguasai lebih dari 50 persen starter di klub-klub ternama Inggris. Bahkan, Arsenal yang diasuh pelatih asal Perancis, Arsene Wenger, sering menurunkan tim tanpa satu pemain Inggris pun pada sebuah laga.

Direktur Pengembangan Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) Sir Trevor Brooking menuding serbuan pemain asing ke Liga Primer menjadi penyebab suramnya persepakbolaan Inggris. Pemain impor dituduh menyebabkan minimnya talenta pada sejumlah posisi kunci di tim nasional Inggris.

”Tim nasional dalam ancaman, fakta menunjukkan hal itu. Saya kira Anda tak bisa meremehkannya, ini harus jadi keprihatinan bersama,” kata Brooking, seperti dikutip BBC.

Berdasar riset BBC tahun 2007, saat Liga Primer pertama kali dimulai tahun 1992, sebanyak 76 persen pemain yang menjadi starter pada pekan pertama kompetisi berasal dari Inggris. Setelah 15 tahun, hanya 37 persen pemain Inggris yang menjadi starter.

Pada tahun 1992 hanya sekitar 10 persen (23 pemain) berasal dari luar Inggris Raya. Sementara pada 2007 meningkat hingga 56 persen (123 pemain). Brooking, yang juga mantan pemain tim nasional Inggris, menambahkan, membanjirnya pemain asing membuat bakat muda lokal jarang tampil di tim utama. Dampak lanjutnya adalah Inggris kesulitan untuk berbuat banyak pada turnamen besar karena keterbatasan bakat.

Hal itu tidak terbantu dengan kebijakan klub-klub Inggris yang terus membelanjakan uang untuk pembelian pemain. Berdasarkan laporan lembaga keuangan Deloitte, belanja klub Inggris untuk pemain asing terus melonjak. Tahun 2007, klub Inggris membelanjakan sekitar 531 juta pound (sekitar Rp 10 triliun), lebih dari setengah dinikmati klub-klub non-Inggris.

”Apakah dengan semua pembelian itu pemain muda usia 17 hingga 21 tahun akan mendapat kesempatan bermain?” tanya Brooking.

Permasalahan kian besar karena klub-klub papan atas, seperti MU dan Arsenal, mengisi akademi mereka dengan pemain-pemain muda dari seluruh penjuru dunia, bukan mengutamakan pembinaan pemain muda Inggris. Kewajiban untuk mengembangkan pemain muda berganti menjadi keinginan instan untuk berinvestasi pada produk asing yang hampir atau sudah jadi.

Ada fakta menarik sebenarnya mengenai kesuksesan klub-klub Inggris dengan mengandalkan pemain asing. Seperti disebutkan Mail Online, selama 15 tahun sebelum era Premiership, saat pemain Inggris masih merajai, klub Inggris merebut Piala Champions, kini Liga Champions, enam kali. Namun, dalam 20 tahun era Premiership yang didominasi pemain asing, Inggris hanya berhasil memenangi Liga Champions tiga kali.

Masalah yang hampir sama dihadapi Italia. Selepas kekalahan dari Slowakia yang membuat mereka tersingkir dari Afrika Selatan, kapten ”Azzurri”, Fabio Cannavaro, menyebut persepakbolaan Italia saat ini gagal memproduksi pemain-pemain sekaliber generasi tahun 2006.

”Saya pikir tidak ada banyak perubahan yang bisa kita lakukan. Saat ini, Italia tidak menghasilkan pemain seperti generasi saya saat kami memiliki banyak pemain hebat,” kata Cannavaro dikutip Reuters. ”Ini tidak hanya masalah tim nasional. Ini juga masalah klub. Kami memiliki pemain bagus, tetapi bukan pemain top.”

Sejak lama Italia diserbu pemain asing dan Cannavaro mengeluhkan hal itu menyebabkan mandeknya pembinaan oleh klub, terutama klub-klub papan atas, seperti Inter Milan, AC Milan, dan Juventus. Inter memang merebut treble musim lalu, tetapi tidak ada pemain pilarnya yang berkebangsaan Italia.

Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) Giancarlo Abete sepakat dengan Cannavaro dan percaya ada ”krisis struktural” di Italia. ”Banyak pemain Italia tidak berada dalam level internasional,” kata Abete menyesalkan fakta hanya ada 42 persen pemain Italia di Serie A. ”Uni Eropa dan UEFA harus menyadari apa problemnya karena jika kita gagal mengembangkan olahraga ini lebih baik, risiko tidak hanya satu atau dua federasi saja, tetapi seluruh Eropa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar