Rabu, 30 Juni 2010

Piala Dunia dan Bayangan Xenophobia

Kawasan kumuh di Afrika Selatan banyak bertebar di pinggir-pinggir kota. Dari kawasan ini sering muncul aksi xenophobia yang menyerang para pendatang.

PARA pendatang di Afrika Selatan (Afsel) diburu, dihajar, dan dibantai. Dari tahun 2000 sampai 2008, ratusan orang terluka dan 67 pendatang tewas. Bahkan, Maret 2008, 62 dua orang tewas karena dibantai.

Semua itu aksi kebrutalan masyarakat Afsel karena xenophobhia, atau ketakutan tak berdasar kepada para pendatang. Mereka dianggap mengambil rezeki pribumi dan menyebarkan penyakit mematikan, termasuk HIV AIDS. Mereka juga dianggap menyuburkan kriminal di Afsel.

Jika orang Afsel diajak bicara soal tingginya kriminal di Afsel, maka mereka buru-buru langsung menuduh pendatang. "Orang Afsel tak ada yang suka kriminal. Mereka berasal dari Zimbabwe, Mozambik, Namibia, dan Nigeria," begitu selalu jawabannya.

Sejak Afsel memasuki era demokrasi dan melepaskan politik rasial Apartheid pada 1994, xenophobia sering terjadi. Masyarakat mulai curiga kepada para pendatang.

Afsel sendiri sejak memasuki era demokrasi seperti oase bagi warga Afrika. Banyak warga dari negara lain masuk ke Afsel untuk mencari peruntungan baru. Sebanyak 350.000 orang Mozambik dilaporkan mengungsi ke Afsel pada 1994 karena keadaan negaranya kacau.

Mereka akhirnya diberi tempat oleh pemerintah Afsel di dekat komunitas para kulit hitam. Orang kulit hitam di Gazankulu bisa menerimanya. Sementara di Lebowa, orang dengan berat hati menerima mereka, bahkan semakin membencinya.

Tak hanya dari Mozambik. Pengungsi dari Zimbabwe, Namibia, Botswana, dan negara Afrika lainnya juga semakin banyak. Pada perkembangannya, para pendatang itu banyak yang sukses di Afsel.

Di pasar-pasar di Afsel, rata-rata pedagang datang dari luar. Jika tak dari China, biasanya dari Zimbabwe, Mozambik, Namibia, Nigeria, dan negara utara Afsel lainnya. Bahkan, daerah Hillborugh yang dulu dikuasai kulit putih, kini menjadi wilayah pendatang yang amat rawan.

Karena itu, sejak 1994 muncul serangkaian aksi xenophopbia yang menyerang para pendatang. Tadinya menyerang warga Mozambik, Zimbabwe, Nigeria dan pendatang dari negara tetangga lainnya. Lama-lama menjadi asal menyerang pendatang dari mana pun.

"Pada 2008, aksi xenophobia sudah sangat ngawur. Mereka menyasar pendatang dari mana saja. Bahkan, saking tak bisa membedakan, pribumi juga ikut diserang," kata Djaka Widyatmadja, staf KBRI di Pretoria memberi kesaksiannya.

Mula-mula, aksi xenophobia muncul di Privinsi Gauteng yang mencakup Johannesburg dan Pretoria. Namun, lama-lama aksi itu menyebar ke seluruh Afsel dan semakin parah.

"Saya bisa membedakan mana orang Afsel dan mana orang Zimbabwe, Mozambik, Nigeria, atau Namibia," jelas Steve, warga Afsel.

Selama Piala Dunia, diperkirakan para pendatang dari negara-negara di utara Afsel semakin banyak. Apalagi, kondisi sosial-politik dan ekonomi mereka masih belum stabil. Wajar jika mereka berusaha masuk Afsel untuk mencari peruntungan baru.

Beberapa orang Afsel sudah merasakannya. Menurut Steve, selama Piala Dunia banyak pendatang dari negara-negara di utara Afsel. Mereka datang bukan sebagai penonton bola, tapi mencari lahan kehidupan baru.

Hal itu memang bisa dirasakan. Di beberapa pasar, banyak orang dari Mozambik, Zimbabwe, Botswana, Namibia, dan Nigeria. Mereka berdagang apa saja. Sebagian, menurut polisi, juga melakukan kejahatan di Afsel. Apalagi, sebagian dari pengungsi itu desersi tentara di negaranya.

Xenophobia masih hangat, bahkan seperti api dalam sekam. Sebab itu, pemerintah Afsel harus bekerja keras untuk meredamnya, jika tak ingin terjadi aksi-aksi xenophobia kembali yang mungkin lebih parah.

Sebab, kondisi ekonomi di Afsel semakin tak merata. Saat ini, seperempat dari sekitar 49 juta penduduk Afsel dalam kartegori pengangguran dan sebagian besar homeless atau tak punya rumah. Mereka tinggal di daerah-daerah kumuh. Dari mereka pula sering muncul aksi xenophobia.

"Trauma xenophobia itu belum hilang. Jika makin banyak pendatang dan kemudian dominan di sektor ekonomi, tak menutup kemungkinan xenophobia kembali terjadi. Itu yang sekarang ditakutkan," jelas Dedi jayadiputra pejabat bidang penerangan, sosial, dan budaya KBRI di Pretoria.

Sentimen itu memang masih terasa. Sekarang, segala hal negatif yang terjadi di Afsel, selalu dituduhkan sebagai bawaan para pendatang. Kriminal dikatakan sebagai pendatang. Banyak kasus AIDS juga dinilai bawaan pendatang, begitu juga dengan banyaknya aksi pemerkosaan.

Sentimen di Afsel masih cukup tinggi. Sentimen antara kulit putih dan hitam belum hilang sama sekali, ini bertambah dengan sentimen dengan para pendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar