Rabu, 16 Juni 2010

Engap-engap, Dingin-dingin, Gol-gol!

Skuad Perancis memulai latihan tim di dataran tinggi Tignes, kawasan Pegunungan Alpen, Mei lalu. Ini merupakan bagian dari persiapan tim untuk bermain di dataran tinggi pada Piala Dunia 2010.

MESKI rata-rata mengaku siap mental untuk menang, tetapi diam-diam juga siap mental tersepak di babak penyisihan atau perempat final Piala Dunia. Kalau teknik dan kepiawaian bermain bola, semua tim memiliki strategi dan jampi-jampi pelatih andalannya. Namun, banyak tim justru takut menghadapi faktor nonteknis, semisal kondisi udara dan cuaca di Afrika Selatan.

Soal cuaca juga bukanlah soal panas anget dan adem dingin, tetapi banyak tim sengaja berangkat duluan atau melatih dirinya main bola di tanah tinggi di atas 1.000 meter dari permukaan laut (dpl). Bahkan, beberapa tim rela membuang dana dan waktunya untuk bertandang dan bertanding di lapangan bola tanah tinggi itu.

Beralasan utama aklimatisasi, sejak akhir Mei sampai seminggu sebelum kick off Piala Dunia, berdatanganlah ke-31 laskar bola dunia untuk bertanding, semuanya bertekad mau menang dengan fair. Makanya, mereka pun bersiap-siap dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi cuaca, serta membiasakan tubuhnya beraktivitas di dataran tinggi beroksigen tipis.

Tanah tinggi di Afsel yang menjadi stadion hanya ada di enam kota: Johannesburg atau Jo’burg (di ketinggian 1.750 meter dpl), Rustenburg (1.500 meter), Bloemfontein (1.395 meter), Pretoria (1.350 meter), Polokwane (1.300 meter), dan Nelspruit (600 meter). Sementara tiga kota: Cape Town, Durban, dan Port Elizabeth, aman karena sejajaran dengan permukaan laut.

Di enam stadion yang berada di kota tinggi itu, setiap sebelas pemain pilihan akan bergerak, berlari, menendang, menyundul, bertabrakan, saling jegal, sikut-sikutan, naik pitam, gembira, dan bernapas. Ya, mereka harus bernapas kalau mau main bola dan mau menang. Justru soal napas bernapas inilah yang menjadi soal penting.

Menurut pakar, soal napas-napasan manusia ini, ekstremnya kalau manusia dataran rendah berada di ketinggian 5.000-an meter dari laut, pasokan oksigen alam hanya tersisa sepertiganya saja. Manusia apakah itu atlet, orang biasa, termasuk wartawan, asal kota dataran rendah, kalau tanpa aklimatisasi memadai, tahu-tahu tendang bola atau meliput, biasanya akan engap-engap, napas pun berat ditarik dan diembuskan.

Kenangan buruk

Pengalaman tahun 1997 membekaskan kenangan buruk saat tugas jurnalistik ke lokasi berketinggian di atas 5.000 meter, wah paru-paru yang terbiasa mengempos dan menyedot pasokan oksigen tiba-tiba serasa mampet dan engap-engap rasanya. Padahal, cuping hidung sudah kembang kempis, tetapi oksigen yang masuk dan keluar rasanya hanya satu-satu dua-dua saja. Dada pun berdebaran, jantung mungkin juga kagak beres dag-dig-dugnya.

Ujung-ujungnya kepala pusing, serta diserang rasa mual-mual banget dan perasaan pun semuanya serba salah—tanpa rasa serba benar. Tidur susah, kepala puyeng dan kliyengan dan rasanya haus melulu. Padahal, kalo kebanyakan minum, nanti rasanya mau beser alias kebelet mau BAK, buang air kecil, melulu. Di kalangan pendaki gunung, gejala itu disebut accute mountain sickness (AMS). Obatnya ya turun ke dataran lebih rendah, biar dada dan jantung kurang rasa engap-engapnya, serta biar kepala yang puyeng tujuh keliling tersisa satu-dua keliling saja.

Aklimatisasi yang dilakukan tim uitlanders alias orang luar ini sangat masuk akal. Sebab, dalam penelitian 2007 terhadap 10 negara Amerika Selatan yang berdataran tinggi, kalau bertanding dua negara sesama asal dataran tinggi, kans menangnya masing-masing 53 persen.

Kalau tanding laga antara negara dataran rendah dan tim dataran tinggi di stadion tanah tinggi, kans menang tim tinggi itu sampai 83 persen.

Ironisnya, Argentina bertanding lawan Bolivia di Stadion La Paz yang 3.600 meter. Alhasil, ya keok 0-6! Makanya, Argentina dan Brasil pernah protes keras kepada FIFA supaya mencabut izin tanding laga di La Paz lagi, karena bikin negara dataran rendah menjadi engap-engap, susah bikin gol-gol.

Semua tim tamu siaga menghadapi kadar tipis oksigen di lima stadion yang rata-rata sekitar 1.500 meter. Namun jangan lupa, uitlanders ini sebagian besar juga akan kesenangan main bal-balan di Afsel. Soalnya bulan Juni-Juli, Afsel lagi musim dingin alias winter. Suhu di sana 7-18 derajat celsius.

Wuih, untung tim PSSI tidak sempat main voetbal ke Zuid Afrika. Paling tidak tim Indonesia dan pengurusnya selamat, tidak sempat napasnya engap-engap dan sulit gol-gol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar