Rabu, 16 Juni 2010

Pelarangan Vuvuzela adalah Neokolonialisme

Suporter Afrika Selatan tak bisa lepas dari Vuvuzela, meski banyak tim keberatan.

JOHANNESBURG, - Keluhan terhadap suara Vuvuzela kembali meruak dsi Piala Dunia 2010. Beberapa pemain dan tim sudah mengusulkan agar terompet tradisional Afsel itu dilarang. Namun, para suporter Afsel siap melawannya, karena pelarangan Vuvuzela adalah bentuk neokolonialisme.

Beberapa pemain dan tim memang mulai mengeluhkan suara Vuvuzela yang tak kenal berhenti di stadion. Keluhan itu disampaikan lewat Facebook, Twitter, atau secara resmi.

Pretoria News memberitakan, beberapa tim Piala Dunia 2010 kembali mengirimkan keluhan terhadap Vuvuzela. Namun, Presiden FIFA, Sepp Blatter, menolak melarangnya. Lewat pesannya di Twitter, Blatter mengatakan, "Untuk menjawab semua keluhan Anda tentang Vuvuzela, sudah saya katakan bahwa Afrika punya ritme dan suaranya sendiri. Tak mungkin melarang musik tradisional di negaranya sendiri. Apakah Anda akan melarang musik tradisional di negara Anda?"


Begitu jawaban Twitter Blatter yang kini disebarkan ke mana-mana secara berantai. Jawaban itu sering ditegaskan kepada warga Afsel yang ditanya tentang Vuvuzela.

Kepada Kompas.com, Moekenda mengatakan, "Melarang Vuvuzela sama saja neokolonialisme. Kami sudah lelah dengan kolonialisme dan siap melawannya."

Menurutnya, Vuvuzela sudah menjadi bagian dari budaya Afrika Selatan. Maka, jika hal itu dilarang, maka sama saja melakukan penjajahan di negeri Afsel.

"Anda tahu, kami tak mau diatur oleh pihak asing lagi. Bahkan, Blatter pun tak bisa mengatur kami," tambahnya.

Soal budaya Afsel memang sangat sensitif. Blatter pernah dikecam beberapa organisasi massa di Afsel, karena tak memperhatikan budaya setempat untuk acara konser pembukaan di Stadion Orlando, Soweto, Kamis 910/6/20`0) lalu. Bahkan, mereka sempat mengancam akan memboikot acara itu jika tak mengedepankan ritme dan budaya Afsel.

Suara Vuvuzela memang memekakkan telinga, bahkan bisa merusak gendang. Menurut ahli suara dari Perancis, Mireille Tardy, suara Vuvuzela jika maksimal menyamai suara jet yang sedang tinggal landas.

Namun, Vuvuzela sudah menjadi budaya Afsel. Selama Piala Dunia 2010, masyarakat meniup terompet tradisional itu tak hanya di pertandingan, tapi kadang di jalan-jalan. Bahkan, tak ada pertandingan saja tetap ada orang yang meniup. Itu sudah menjadi bagian kebiasaan dan budaya.

Jika banyak orang yang meniup Vuvuzela, maka akan seperti suara rombongan lemah dengan volume yang luar biasa. Gendang telinga bisa bergetar dan serasa mau pecah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar