Rabu, 16 Juni 2010

"Tikitaka el Xaviniesta"

Pemain Spanyol (dari kiri) Xavi Hernandez, Cesc Fabregas, Carles Puyol, dan Andres Iniesta berlatih bersama.

Kedua manusia itu bermain seperti dalam khayalan. Gerak permainan mereka bagaikan potongan-potongan film. Mereka melakukan aksi-aksi yang tak mungkin jika dilihat dari kacamata dunia nyata. Mereka bermain di atas kemampuan manusia biasa.

Begitulah Bobby Charlton memuji permainan Alfredo di Stefano dan Ferenc Puskas, dua bintang Real Madrid pada tahun enam puluhan. Memang waktu itu Di Stefano dan Puskas adalah sepasang bintang yang kecemerlangannya dikenal melampaui langit sepak bola Spanyol.

Sekarang, kerinduan menyaksikan kehebatan seperti yang dipertontonkan oleh Di Stefano dan Puskas itu mungkin tak dapat lagi dipuaskan. Namun, kalau toh masih mungkin, kiranya kita boleh memuaskan kerinduan itu saat menyaksikan duet pemain Spanyol, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta.

Sejak di semifinal Piala Eropa 2008, ketika Spanyol memukul Rusia, 3-0, muncul istilah baru dalam perbendaharaan kata di dunia bola, yakni el Xaviniesta. Kata baru ini merumuskan arti dari duet brilian Xavi dan Iniesta. Xavi mengorganisasi permainan, lalu Iniesta yang memberikan makna bagi permainan itu.

Iniesta selalu tahu di manakah kira-kira celah yang kosong, sesempit apa pun, di tengah situasi chaos yang terjadi di lapangan. Dengan cermat, ia menempatkan bola di tempat di mana lawan tak pernah menduganya. Bersama Xavi, ia membuat tikitaka, umpan-umpan pendek, untuk membangun serangan yang efisien.

Semuanya itu dilakukan dengan amat sederhana. Memang lain dengan Wayne Rooney, bintang yang bermain dengan berapi-api, Iniesta bermain nyaris tanpa ekspresi. Lain dengan Cristiano Ronaldo, yang mendribel bola dengan penuh arogansi, Iniesta mengolah bola dengan lugu dan tanpa emosi. Lain dengan Lionel Messi, yang membawa bola dengan melejit-lejit, Iniesta memainkan tikitaka dengan kepolosan spontanitas, tanpa kembangan apa-apa.

Apabila berbicara tentang superstar, orang hanya teringat akan Rooney, Messi, dan Ronaldo. Mereka lupa akan seseorang lainnya, yakni Iniesta. Akan tetapi, pantas jika orang tak mereken Iniesta sebagai bintang karena Iniesta sendiri tak mau direken sebagai bintang. Ia terlalu sederhana untuk menjadi bintang. Ia tak mau menonjolkan diri. Jarang ia mau difoto. Kalau toh mau, paling-paling hanya untuk menyenangkan fans-nya.

Iniesta berasal dari desa kecil, Fuentealbilla, yang hanya berpenduduk 2.000 jiwa. Ia sangat terikat pada desanya. Tahun 1996, ia ditemukan oleh Albert Benaiges, pemandu bakat FC Barcelona, lalu dibawa ke sekolah dan internat bola, La Masia. Berat baginya berpisah dari orangtuanya. Maka, hari-hari pertamanya di La Masia, ia sering menangis karena rindu kepada ayah ibunya di desa. Di kemudian hari, Iniesta menjadi bintang Barcelona, tetapi hidup dan hatinya masih sesederhana hidup dan hati anak Desa Fuentealbilla.

Organisasi dan makna duet Iniesta dan Xavi di FC Barcelona diambil oper oleh Luis Aragones dan diterapkan begitu saja pada kesebelasan Spanyol. Dan kombinasi itu masih terus dipakai oleh Vicente del Bosque, pelatih Spanyol sekarang. Maka, kini el Xaviniesta masih tetap menjadi jiwa dan kehidupan ”La Furia Roja”.

Tanpa Iniesta, tak ada el Xaviniesta. Tanpa el Xaviniesta, sulit bagi La Furia Roja untuk bermain sesuai dengan ciri khasnya. Tak heran jika Del Bosque deg-degan karena Iniesta cedera waktu uji coba melawan Polandia. Namun, tampaknya, menjelang pertandingan melawan Swiss malam nanti, Iniesta siap untuk diturunkan. ”Saya sudah merasa baik, kenapa saya tidak harus bermain?” kata Iniesta.

Jelas, melawan Swiss, Del Bosque akan menampilkan gaya khas permainan Spanyol, yakni menyerang. Sejak saat pertama, mereka akan berusaha merebut inisiatif permainan. Namun, Del Bosque sadar, jalan menuju kemenangan bukan hanya menyerang, tetapi juga membangun pertahanan yang solid.

”Untuk itu, pemain yang membela pertahanan, Carlos Marchena dan Carles Puyol, harus diperhitungkan sebagai bagian penting dari tim untuk menyumbangkan kemenangan,” kata Del Bosque.

Sementara Pelatih Swiss Ottmar Hitzfeld sadar betapa sulit melawan Spanyol malam ini. Ia sudah memperhitungkan, Spanyol akan menguasai bola 65 sampai 70 persen. ”Karena itu, mau tak mau, kami harus mengandalkan serangan balik,” kata Hitzfeld. Hitzfeld menganjurkan kepada anak-anaknya agar siap mengambil inisiatif begitu ada kesempatan untuk menyerang walau rasanya kesempatan itu sangat sedikit.

Hitzfeld adalah seorang matematikus bola. Apa saja langkahnya selalu diambil berdasarkan pertimbangan akalnya. Namun, kali ini hal tersebut tak dapat dilakukannya. Maklum, kedua pemain yang sangat diandalkannya, Alex Frei dan Volan Behrami, masih cedera dan tak dapat dimainkan.

Sampai Selasa kemarin, Hitzfeld masih mencoba varian-varian yang mungkin bisa diandalkan. Untuk itu, katanya, ia hanya mengandalkan intuisi dan feeling-nya. Siapa tahu, ketika berani meninggalkan perhitungan matematisnya, ia justru bisa mengimbangi permainan Spanyol yang juga sangat intuitif dan instingtif itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar