Minggu, 20 Juni 2010

Afsel yang Angkuh dan Paranoid

Kawat berduri selalu menghiasai pagar-pagar rumah di Afrika Selatan. Bahkan, antartetangga pun harus dibatasi kawat berduri.

JOHANNESBURG, — Jangan membayangkan Piala Dunia 2010 membuat suasana kota-kota menjadi meriah setiap saat, berseliweran para suporter di setiap sudut, dan banyak aneka hiburan yang menyertainya. Jangan pula berharap banyaknya pedagang suvenir tentang Piala Dunia.

Memang aneh. Tidak seperti Piala Dunia sebelumnya, Afsel malah cenderung sepi. Apalagi, tim tuan rumah "Bafana Bafana" hampir pasti tersingkir. Suara vuvuzela yang tadinya terdengar hampir di setiap saat, kini mulai langka lagi kecuali ada pertandingan.

Namun, itulah Afsel. Negeri yang baru 16 tahun lepas dari apartheid, dari sinisme ras, dan pembantaian yang masih menyisakan goresan luka di hati setiap orang. Bagaimanapun, sinisme antara kulit hitam dan putih masih terasa. Ini yang membuat pola sosial Afsel menjadi terasa angkuh.

Hampir semua rumah selalu dipagar tinggi dan penuh duri. Bahkan, kini semakin banyak yang memakai pagar listrik. Pintu pagar mereka juga hanya bisa dibuka dengan remote control. Ini untuk menyulitkan pihak lain membukanya. Ini karena pemerintah belum mampu mengendalikan keamanan sehingga kriminalitas masih sangat tinggi.

Sehingga, setiap orang memikirkan keamanannya masing-masing. Saking banyaknya kriminal, masyarakat menjadi paranoid. Hampir setiap rumah dilengkapi segala tetek bengek alat keamanan.

Selain pagar berduri dan kawat listrik, perlengkapan keamanan di rumah-rumah Afsel sangat beragam. Di setiap pintu ada detektornya. Jadi, jika pintu dibuka maka akan terlihat si pemilik rumah. Di depan rumah selalu ada detektor pula. Jika ada gerakan yang tercium detektor maka lampu akan menyala. Sudah begitu, pintu rumah-rumah di Afsel selalu ganda. Selain ada pintu biasa, di depannya selalu diberi pintu teralis.

"Ini juga belum aman. Setidaknya kami bisa menunda aksi kejahatan, hingga petugas keamanan datang," kata Jaka Widyatmaka, staf KBRI di Pretoria.

Selain itu, hampir di setiap rumah menyewa agen keamanan. Alat-alat keamanan akan langsung memberi kontak kepada agen keamanan swasta jika terjadi ketidakwajaran. Dalam sekejap, agen keamanan akan datang.

Karena paranoia tersebut, masyarakat Afsel pun menjadi sangat eksklusif, cenderung inferior. Tak ada budaya berkumpul atau bersosial di kampung atau di kompleks. Semua sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, juga keamanannya sendiri-sendiri. Penataan perumahan pun menjadi terkesan angkuh. Satu sama lain selalu dipisahkan pagar kawat.

Tak ada pula warung seperti di Indonesia yang selain untuk jual beli, terkadang jadi wahana bersosial. Jangan harap pula ada warung-warung di jalanan karena itu sama saja mengumpulkan kriminal. Semua kebutuhan dibeli di supermarket yang polanya juga amat angkuh.

Hanya di kawasan kulit putih ada pola berkumpul, nongkrong, dan mengobrol bareng, tetapi itu pun terbatas. Bahkan, suasana di Sunnyside yang kini didominasi kulit hitam, juga pola sosialnya juga sama: angkuh.

Luka lama akibat apartheid juga masih terlihat. Sinisme kulit hitam dan kulit putih masih ada. Pembauran pun seolah berjalan lambat. Sebab, terlihat komunitas mereka juga terpolarisasi.

Dalam berolahraga pun masih terpolarisasi. Rugbi seolah menjadi olahraga dan kebanggaan kulit putih. Sedangkan sepak bola menjadi kebanggaan kulit hitam. Maka, wajar jika Piala Dunia 2010 seperti pesta kulit hitam.

Bahkan, seorang kulit putih mengatakan kepada Kompas.com, "Lihat, apa maksud mereka? Norak amat, menguasai kota seolah jalan mereka sendiri."

Dia mengucapkan komentar seperti itu dengan nada sinis kepada para suporter sepak bola yang memeriahkan suasana. Namun, jika rugbi meraih kemenangan, kulit putih akan melakukan hal sama. Mereka akan memenuhi jalan-jalan dan berpesta, sementara kulit hitam akan sinis menanggapinya.

"Sebenarnya sama saja. Ya, begitulah keadaannya," kata Jaka.

Maka, tak heran suasana di Afsel menjadi semakin sepi. Sebab, Piala Dunia semakin kehilangan maknanya bagi warga Afsel. Selain secara ekonomi tak menyentuh masyarakat bawah, Bafana Bafana sudah di ujung tanduk dan hampir pasti tersingkir.

Sungguh sulit dibayangkan bagaimana jadinya jika sisa Piala Dunia yang masih panjang ini tanpa tuan rumah Afsel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar