Sabtu, 26 Juni 2010

Lippi, Sindrom Berlin, dan Runtuhnya Italia

Pelatih tim nasional Italia, Marcello Lippi.

Wajah Marcello Lippi kuyu. Ia lebih sering menunduk, menatap meja alas mikrofon di depannya. Ketika mengangkat muka dan memandang ke depan, kerut-kerut di keningnya terlihat jelas. Beban yang dipikulnya terlalu berat untuk pria seusia 62 tahun. Dan, ia ingin melepaskannya, Kamis (24/6/2010) malam itu juga di ruang konferensi pers Stadion Ellis Park, Johannesburg.

”Saya ambil tanggung jawab penuh (atas kegagalan ini). Saya tidak mempersiapkan tim dengan cukup baik. Saya tidak berpikir bakal mampu mempertahankan gelar juara, tetapi saya berpikir tidak akan seburuk ini,” kata Lippi, Pelatih Italia.

Keterangan pers itu disampaikan Lippi beberapa saat setelah Italia tersingkir dari Piala Dunia 2010. Tim ”Azzurri” harus angkat koper dari Afrika Selatan sebagai juru kunci Grup F, di bawah dua negara anak bawang, seperti Slowakia dan Selandia Baru, setelah disikat Slowakia 2-3 dalam laga dramatis di Ellis Park.

Andai saja, ya, andai saja Lippi mau mendengar kritik wartawan di ruangan yang sama setahun silam, mungkin saja nasib Italia tidak senestapa ini. Setahun silam, juga di Ellis Park pada ajang Piala Konfederasi 2009, Italia dipukul Mesir 0-1. Saat itu, wartawan bertanya, mengapa Lippi masih mengandalkan para pemain veteran alumni juara Piala Dunia 2006.

Pertanyaan serupa terus diulang-ulang wartawan hingga hari-hari terakhir persiapan Italia menjelang terbang ke Afrika Selatan. Namun, Lippi bergeming. ”Anda tidak boleh hanya melihat kualitas teknik dan umur, tetapi lihat juga inteligensi, karisma, pengalaman internasional, dan kemampuan memanfaatkan saat-saat menentukan dalam pertandingan,” ujar Lippi sebelum berangkat ke Afsel.

Kini, Lippi menelan ludahnya sendiri. Pasukan yang ia racik tersungkur di penyisihan grup. Jika empat tahun lalu disambut bak pahlawan berkat suksesnya membawa Italia juara dunia, ia kini dicap sebagai pecundang. Di bawah polesannya, Italia tersingkir di penyisihan grup untuk ketiga kalinya setelah Piala Dunia 1966 dan 1974.

”Saya sendiri tidak tahu, mengapa kami hanya bisa bermain 10 menit terakhir dan saya mohon maaf atas pilihan pemain saya. Apa lagi yang harus saya katakan?” lanjutnya seolah kehabisan kata-kata.

Hampir separuh dari 23 pemain tim Italia pada Piala Dunia 2010 adalah para alumni Piala Dunia 2006 Jerman. Delapan dari mereka telah berumur di atas 30 tahun, seperti kapten Fabio Cannavaro, Gennaro Gattuso, Vincenzo Iaquinta, Antonio di Natale, Gianluca Zambrotta, Mauro Camoranesi, Andrea Pirlo, dan kiper Gianluigi Buffon.

Gara-gara terlalu mengandalkan mereka, ada yang menyebut Lippi terkena ”sindrom Berlin”. Istilah yang mengacu pada kejayaan mereka saat mengalahkan Perancis pada final Piala Dunia 2006 di Berlin. Ironisnya, Perancis—yang juga finalis empat tahun lalu juga telah tersingkir dari Afrika Selatan—membuat Piala Dunia tahun ini untuk pertama kali dua tim finalis gagal lolos dari penyisihan grup.

Ada juga yang menjuluki skuad racikan Lippi dengan ”Pasukan Bapak-bapak (Dad’s Army)”. Lima dari ”Pasukan Bapak-bapak” itu, yakni Cannavaro, Gattuso, Iaquinta, Di Natale, dan Zambrotta, tampil starter saat Italia dilipat Slowakia, 2-3. Pirlo (31 tahun) juga sempat diturunkan sebagai pengganti.

Dengan menurunkan ”Pasukan Bapak-bapak” itu juga Italia ditahan Paraguay dan Selandia Baru, 1-1. Baru kali ini dalam 17 kali penampilan di Piala Dunia Italia tak satu pun memenangi laga. ”Saya hampir tak bisa mengungkapkan lagi, betapa menyesal mengakhiri perjalanan dengan cara seperti ini,” sambung Lippi. Nasib Lippi sama dengan Raymond Domenech, Pelatih Perancis. Seperti halnya Domenech, Lippi pensiun dari melatih timnas Italia dan akan digantikan mantan Pelatih Fiorentina, Cesare Prandelli.

”Saya belum punya niat balik lagi menjadi pelatih setelah (kegagalan) ini. Saya akan beristirahat beberapa bulan dan kita lihat saja nanti,” tutur Lippi.

Pirlo mencoba mengurangi rasa kecewa sang mentor. ”Ini bukan hanya kesalahannya (Lippi),” kata Pirlo. ”Kami seharusnya bisa tampil lebih baik. Tetapi, jika Anda pulang kampung tanpa memenangi satu pun pertandingan dalam grup seperti ini, Anda tinggal mengaca diri. Penampilan kami memang memalukan.”

Berbeda dengan Lippi yang ingin cepat-cepat meninggalkan Ellis Park, suporter Slowakia justru berlama-lama berada di stadion itu. Sekumpulan suporter di sebelah kiri tribune media masih berjoget ria saat pintu stadion akan ditutup petugas. Wajar, Piala Dunia ini debut Slowakia dan mereka lolos ke babak 16 besar.

Slowakia mendampingi Paraguay, yang tampil juara grup. Slowakia bakal melawan Belanda, sedangkan Paraguay jumpa Jepang. ”Hasil ini mengejutkan dan menjadi kemenangan terbesar dalam sejarah sepak bola negara kami,” kata Stanislav Bencat, wartawan Slowakia untuk situs Pravda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar