Rabu, 16 Juni 2010

Sepak Bola, Biko, dan Anti-apartheid

Kliping koran-koran pada 1970an yang menulis tentang protes-protes warga kulit putih terhadap Apartheid. Steven Biko termasuk penggiat protes kepada Apartheid.

PRETORIA, — Sepak bola sebenarnya cukup mengakar di masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan. Bahkan, olahraga ini amat merakyat karena mudah dan bisa dimainkan di mana saja.

Di era apartheid, sepak bola malah menjadi katarsis bagi rakyat yang tertindas. Mereka sering memainkan sepak bola di mana pun, termasuk di lahan-lahan sempit. Jika tak ada bola, rumput digulung pun bisa dimainkan.

Itu yang terjadi di masa apartheid. Sebab, fasilitas umum yang penting dikuasai kulit putih. Sedangkan kulit hitam dan berwarna harus hidup di areal berbeda yang biasanya kumuh, gersang, dan terpojok.

Masyarakat kulit hitam dan berwarna terus mendapat tekanan. Mereka tak diberi ruang sedikit pun untuk menyalurkan pendapat, berekspresi, apalagi memprotes politik apartheid yang jelas-jelas menindas kaum lain sejak ratusan tahun dan bahkan dinyatakan secara resmi pada 1948.

Meski begitu, di antara kesempitan berpendapat dan berekspresi, ada sedikit ruang yang bisa dimanfaatkan masyarakat kulit hitam untuk saling berdiskusi, menyalurkan pendapat, dan memikirkan masa depan. Ruang itu salah satunya bernama sepak bola.

Ya, pemerintah berkuasa kulit putih waktu itu tak terlalu curiga jika warga kulit hitam bermain sepak bola. Ini dimanfaatkan betul oleh orang kulit hitam. Salah satu tokoh anti-apartheid yang memanfaatkannya adalah Steven Biko atau sering dipanggil Steve Biko.

Dia adalah aktivis anti-apartheid yang terus berjuang menghapuskan politik pembedaan rasial itu di bumi Afsel. Seperti halnya Nelson Mandela, Biko juga konsisten terhadap perjuangannya.

Dia banyak menulis artikel yang terus mengkritik apartheid. Dia juga terus berusaha membangkitkan warga kulit hitam agar lebih kuat. Ada satu kalimat darinya yang sangat populer di Afsel, "Hitam itu indah."

Namun, pada 1973, Biko dibatasi gerakannya. Dia tak boleh lagi berbicara dengan lebih dari satu orang. Dia tak boleh berbicara di depan massa.

Biko tak kurang akal. Dia pindah ke Eastern Cape, tempat kelahirannya. Di sini, pengawasan tetap ketat, tetapi masih sedikit leluasa. Dia banyak memanfaatkan sepak bola untuk menyampaikan pesan-pesannya.

Sembari bermain sepak bola, dia sering berbicara kepada pemain lain agar pesanannya disebarkan. Ini salah satu cara dia mengatasi tekanan untuk membangkitkan warga kulit hitam. Dalam tekanan seperti itu, dia masih bisa membentuk organisasi-organisasi yang bertujuan menyadarkan rakyat kulit hitam akan kesamaan, kemerdekaan, dan kebebasan.

Polisi Afsel akhirnya menangkap Biko pada 21 Agustus 1977. Dia disiksa di penjara. Pada 11 September 1977, polisi memasukkannya ke mobil Land Rover untuk dibawa dari Cape Town ke Pretoria. Karena besarnya siksaan, sesampainya di Pretoria, Biko meninggal dunia dengan kepala penuh luka siksaan. Namun, hingga kini para pollisi penyiksanya tak pernah ditahan.

Biko telah gugur. Mungkin dia tak pernah bisa merasakan kebebasan kulit hitam setelah apartheid dihapuskan pada 1994. Namun, namanya akan selalu dikenang. Bahkan, dia disebut martir anti-apartheid.

Rakyat Afsel kini menghormatinya. Sebab, Biko ikut meletakkan dasar-dasar perjuangan menghilangkan apartheid dari bumi Afsel. Dan, salah satu jalan perjuangannya adalah lewat sepak bola.

Ah, seandainya masih hidup, dia akan sangat bahagia karena negerinya bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010. Bahkan, dia pasti akan mendapat tempat dan waktu untuk berpidato di acara pembukaan, seperti halnya Desmond Tutu, Jacob Zuma, dan Nelson Mandela (sayang Mandela akhirnya urung). Namun, jelas dia tak akan bicara soal memerangi apartheid, melainkan kejayaan dan kebanggaan Afsel secara keseluruhan, tanpa membedakan warna kulit.

"Different tribe, one pride, one support, one win," demikian slogan Afsel yang artinya, berbeda suku tetapi satu kebanggaan, satu dukungan, dan satu kemenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar