Kamis, 17 Juni 2010

Untung Masih Ada Jabulani dan "Vuvuzela"

Suporter Afrika Selatan tak bisa lepas dari Vuvuzela, meski banyak tim keberatan.

Baru pada Piala Dunia kali ini yang menjadi bintang lapangan bukanlah pemain, melainkan benda mati bernama vuvuzela dan Jabulani. Vuvuzela menjadi topik hangat sekaligus bisnis global yang menguntungkan karena berisik dan mencatat ekspor tertinggi produk tradisional Afrika itu ke mancanegara. Jabulani lebih menakutkan lini belakang—apalagi kiper—dibandingkan dengan striker andalan dari 32 peserta Piala Dunia ke-19 ini.

Dari 14 partai periode 11-14 Juni, belum satu pun pemain 28 negara mencetak lebih dari satu gol. Bandingkan dengan 2006: ada lima pencetak dua gol dalam 14 partai pertama: Miroslav Klose (Jerman), Paulo Wanchope (Kosta Rika), Omar Bravo (Meksiko), Tomas Rosicky (Ceko), dan Tim Cahill (Australia).

Tahun ini, 23 gol tercipta dalam 14 partai atau rata-rata kurang dari dua gol per partai. Bandingkan lagi dengan tahun 2006, 31 gol dalam 14 partai pertama atau rata-rata lebih dari dua gol per partai. Benar kata Dunga, sepak bola adalah masalah efisiensi, termasuk hemat cetak gol alias tak perlu menang mutlak.

Dunga juga benar mengingat hampir semua tim bermain efisien saja karena dua alasan. Pertama, krisis ujung tombak. Dua pemain gaek yang merumput sejak 1998, Thierry Henry (32) dan Cuauhtemoc Blanco (37), masih diandalkan. Ada berderet yang berusia "kepala tiga", seperti Klose (32), Emile Heskey (32), Diego Forlan (31), dan Cahill (30).

Alasan kedua yang melandasi teori efisiensi Dunga, semua tim, tanpa kecuali, defisit playmaker. Tanya kepada Diego Maradona, playmaker terbaik sepanjang masa, mengapa ngotot membawa Juan Sebastian Veron (35)? Berbeda dengan Blanco yang bermain efisien selama 20 menit terakhir karena menginspirasi sekaligus mengangkat semangat tim, Veron yang turun 75 menit pertama berperan bak tembok bagi rekan-rekannya—itu pun kerap salah oper.

Krisis penyerang tengah dan playmaker ini yang membuat para pelatih mungkin secara sadar atau tidak memeluk falsafah "Dungaisme". Dengan kata lain, sepak bola memasuki era pragmatisme. Mereka tak mengharapkan kelahiran Maradona atau Ronaldo baru pada abad ini. Cukup 8-9 pemain berkelas rata-rata, plus 1-2 "pemain mirip playmaker", seperti Lionel Messi, Bastian Schweinsteiger, Steven Gerrard, Wesley Sneijder, dan Kaka. Oleh sebab itu, Afrika Selatan mungkin layak diberikan predikat for better for worse sebagai "Piala Dunia Pelatih" saja.

"Over promoted"

Tidak percaya? Perancis bak ayak jantan tanpa taji karena Raymond Domenech masih melatih walau sudah tak dipercaya lagi. Belanda, yang dilatih Bert van Marwijk, yang lebih dikenal sebagai mertua eks pemain nasional Mark van Bommel daripada pelatih hebat, idem ditto. Portugal, yang diasuh Carlos Queiroz yang lebih sukses sebagai asisten pelatih, tak lebih baik. Argentina yang jelas over promoted hanya mengandalkan Maradona dan Messi.

Setelah penampilan perdana, Perancis, Belanda, Portugal, dan Argentina turun kelas menjadi tim-tim yang sukar disebut sebagai favorit juara. Atau dalam istilah klasik pelatih legendaris Argentina, Cèsar Luis Menotti, mereka hanya penyandang gelar para penantang. Walau tetap ada harapan mereka bisa lebih baik, tujuh partai Piala Dunia butuh konsistensi—bukan ajang coba- coba.

Bagaimana Inggris? Franz Beckenbauer kecewa kepada Pelatih Inggris Fabio Capello karena dianggap mengambil langkah mundur mengembalikan kick and rush. Tudingan "Der Kaiser" tak sepenuhnya benar karena "Footcapello" sekadar mengerjakan finishing touch terhadap kerja keras Sven-Goran Eriksson dan Steve McLaren. Semoga gairah pemain-pemain Inggris saat seri 1-1 melawan Amerika Serikat bertahan—bukan karena dimotivasi ketegangan bilateral gara-gara ulah British Petroleum di Teluk Meksiko. Ingat, AS adalah finalis Piala Konfederasi 2010 yang bukan lawan enteng.

Gejala "Piala Dunia Pelatih" tampak jelas dari menguatnya peranan pelatih lokal di dua tim Asia yang mengandalkan efisiensi ala Dunga: Korsel dan Jepang. Korsel mengakhiri era Pelatih Belanda Guus Hiddink (2002) dan Dick Advocaat (2006). Jepang melakukan hal yang sama setelah ditangani Philippe Troussier (Perancis) tahun 2002 dan Zico (Brasil) 2006. Mereka tampil jauh lebih baik dibandingkan dengan empat tahun lalu, bertolak belakang dengan tim-tim Afrika yang belum beranjak dibandingkan dengan tahun 2006.

Meski masih terlalu dini karena baru tampil sekali, the real contenders adalah Brasil, Spanyol, Jerman, dan Italia. Separuh dari 18 kali Piala Dunia dijuarai hanya oleh dua negara: Brasil lima kali dan Italia empat kali. Brasil pasti tampil lebih baik, percayalah. Jerman mengenal satu prinsip saja: setiap pemainnya menyerang dan bertahan bersama-sama.

Italia pematah hati favorit juara, dengan sistem gréndél yang mencekik dan mengisap darah lawan bak drakula. Spanyol? Hanya satu pertanyaan saja: faktor apa yang menghambat laju mereka merebut gelar pertama kalinya sekaligus mengawinkan mahkota juara Eropa dan juara dunia? Tim "Matador" telah menularkan the feel good factor ke seantero dunia.

Setidaknya ada sesuatu yang bisa kita bincangkan bersama-sama. Untuk sementara mari kita lupakan dulu krisis ujung tombak dan playmaker, nikmatilah ulah Jabulani dan vuvuzela sepuas-puasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar