Rabu, 16 Juni 2010

VAMOS ESPANA...!

SAAT kekaisaran Roma menghalalkan adu jagal manusia di Colosseum, tujuannya cuma satu: menyenangkan hati rakyat. Dengan hati riang dan roti yang melimpah, rakyat Romawi selalu tunduk dan tidak pernah mempersoalkan brengsek atau murah hatinya sang kaisar. Colosseum itu kini berpindah ke sepuluh stadion di Afrika Selatan. Dalam satu bulan ini, krisis dan kelesuan ekonomi yang menimpa Eropa terlupakan oleh hajat agung Piala Dunia.

Spanyol adalah salah satu negara Eropa yang masih menderita akibat tekanan krisis ekonomi global yang melanda sejak Oktober 2008. Utang luar negeri mereka membengkak dan pengangguran mencapai titik terendah dalam satu dekade terakhir, 20 persen.

Berbagai stimulus yang dijalankan pemerintahan Jose Luis Rodriguez Zapatero, dalam satu tahun terakhir, ternyata belum mampu mengangkat kinerja ekonomi Spanyol. Meski belum separah Yunani yang ditomboki Uni Eropa untuk didongkrak kinerja ekonominya, Spanyol bersama Portugal sudah diawasi dengan ketat agar tak ambruk dan membahayakan ekonomi kawasan Eropa, khususnya barat.

Tak heran, Zapatero sangat berharap tim sepak bolanya yang sedang berjuang di Afrika Selatan memberikan ”stimulus” lain agar rakyat Spanyol melupakan sejenak kelesuan ekonominya. Bahkan, jika ”La Furia Roja”, julukan tim nasional Spanyol, bisa meneruskan kejayaannya seperti di Euro 2008, bukan tidak mungkin itu akan menjadi akselerator bagi pemulihan ekonomi.

Ambisi juara dunia tentu saja bukan melulu ambisi politik Zapatero. Rakyat Spanyol yang jumlahnya sekitar 45 juta pun memimpikan gelar paling bergengsi itu hadir di bumi mereka yang sesungguhnya tak pernah kering pemain hebat. Spanyol barangkali memang negeri paling merana dalam kancah pergaulan internasional. Selalu menghasilkan pemain hebat dan klub-klub super, seperti Real Madrid dan Barcelona, Spanyol tak sekalipun merasakan gelar juara dunia.

Bahkan saat mereka menggelarnya di negara sendiri pada 1982, Spanyol hanya mampu lolos ke babak kedua dan tersingkir karena kalah bersaing dengan Jerman Barat.

Melihat sejarahnya, Spanyol memang tak bisa bersinar di level internasional karena terlalu banyak direcoki urusan politik. Semasa Spanyol dikendalikan Jenderal Francesco Franco (1939- 1975) yang fasis, sepak bola tak lebih dari sekadar alat propagandanya untuk menghapus citra Spanyol yang buruk. Franco menggunakan Real Madrid sebagai ”klub resmi” rezimnya. Sukses Real Madrid, terutama di kancah Piala Champions, diklaimnya sebagai sukses rezim fasisnya.

Jejak Franco yang memecah belah timnas Spanyol menjadi beberapa kelompok pemain berbasis suku dan wilayah baru benar-benar lenyap setelah Luis Aragones menangani ”La Furia Roja” menjelang Euro 2008.

Hasil kerja gemilang Aragones yang menghasilkan juara Eropa kini diteruskan oleh Vicente del Bosque. Mantan pelatih Real Madrid ini punya segalanya untuk menjadi juara dunia: pemain kualitas terbaik, tim terbaik dan atmosfer nonteknis yang tak pernah ada dalam empat dekade terakhir.

Del Bosque melewati babak kualifikasi tanpa cacat, mencatat 100 persen kemenangan. Maka, angan-angan menjadi juara dunia pertama kalinya bukan tanpa dasar atau cuma mimpi siang bolong seperti mimpi Indonesia (lewat akal-akalan PSSI) yang ikut bidding tuan rumah Piala Dunia 2022. Ambisi Spanyol sangat nyata karena mereka tim terbaik sepanjang masa.

Bagi rakyat Spanyol, apa pun selain juara dunia adalah kekeliruan. Del Bosque boleh mengelak tentang hal ini, tetapi harapan rakyat Spanyol sebenarnya sangat realistis.

Ayo Spanyol. Vamos Espana...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar