Sabtu, 19 Juni 2010

Vuvuzela, Dibenci dan Dicinta

Di antara 32 tim peserta Piala Dunia 2010, ada peserta tak diundang yang meresahkan banyak pihak. Pemain, pelatih, hingga komentator televisi dan radio menganggapnya tidak layak hadir di Piala Dunia. Vuvuzela, trompet khas Afrika Selatan, kembali menjadi topik kontroversial: apakah perlu dilarang atau dibiarkan hadir menyemarakkan pesta sepak bola saat ini?

Bentuknya seperti trompet biasa. Berbahan plastik, panjang setengah hingga satu meter, corak berwarna-warni, dan gampang ditenteng ke mana-mana. Yang membedakan dari trompet-trompet serupa di Indonesia adalah cara meniupnya dan bunyi yang dihasilkannya.

Tidak seperti umumnya trompet di Tanah Air, vuvuzela tidak ditiup dengan mengatupkan bibir pada bagian ujungnya. Akan tetapi, bibir ditempelkan pada bagian ujungnya dan digetarkan saat meniupnya. Hasilnya? Bunyi yang memekakkan telinga, serasa mau memecahkan kendang telinga.

Bisa dibayangkan jika suara seperti itu dibunyikan puluhan ribu orang dalam stadion berkapasitas 84.490 penonton yang bentuknya mirip kuali raksasa di Stadion Soccer City. Bagi yang tidak tahan suara menyentak telinga, hal itu bisa membuat pening kepala. Sudah pasti, ucapan normal dalam situasi itu tidak terdengar.

Dua kali Kompas merasakan langsung suasana superbising efek bunyi vuvuzela hasil tiupan puluhan ribu penonton di Stadion Soccer City saat menghadiri upacara pembukaan plus laga Afrika Selatan lawan Meksiko dan laga Belanda versus Denmark. Dua kali itu juga, komunikasi dengan radio Sonora untuk laporan suasana secara langsung gagal total.

Jangankan suara telepon dari seberang, ucapan sekeras-sekerasnya—jika tidak menempel ke telinga—pembicaraan antarpenonton dalam stadion itu tidak terdengar jelas. Untuk bisa ditangkap telinga, ucapan harus keras, menempel ke telinga, dan ditambah bahasa isyarat.

Efek vuvuzela sangat berbeda dari hiruk-pikuk yel-yel dukungan suporter Aremania atau The Jakmania saat Arema atau Persija Jakarta bertanding. Dalam beberapa hal, yel-yel suporter dua klub Tanah Air itu "bisa dinikmati" karena mengandung irama dan ritme meski isinya kadang-kadang umpatan tidak senonoh.

Bunyi vuvuzela tidak beraturan, tanpa ritme, dan berlangsung konstan sejak penonton memadati stadion hingga mereka pulang. Bisa dipahami jika banyak pemain, pelatih, hingga wartawan radio dan komentator televisi mengeluhkan hal itu. Vuvuzela membuat komunikasi mereka macet.

"Kami tidak bisa mendengar teriakan pemain lain di lapangan gara-gara itu (vuvuzela)," ujar Patrice Evra, bek kiri dan kapten Perancis, saat ditahan Uruguay 0-0 di Cape Town, Jumat lalu. Bunyi vuvuzela, lanjut bek Manchester United itu, juga mengganggu tidur dan membuat pemain Perancis terbangun pagi-pagi di hotel mereka.

Pelatih Bert van Marwijk telah mengeluarkan larangan keberadaan vuvuzela dalam setiap sesi latihan tim Belanda. Belanda menang 2-0 atas Denmark di Soccer City dalam permainan tidak berkesan, di mana beberapa kali penonton membunyikan vuvuzela dalam satu irama bersamaan.

Sibuk cari solusi

Gara-gara vuvuzela itu, BBC mendapat komplain lebih dari 200 kali dari audiensnya yang tidak bisa mendengar dengan jelas suara komentatornya. Perusahaan media Inggris itu kini berusaha mencari peralatan teknologi yang bisa meredam efek vuvuzela itu bagi produk siarannya.

Kiper Denmark, Thomas Sorensen, juga mengungkapkan, timnya kini tengah merancang bahasa isyarat lewat kontak mata atau gerak tubuh untuk berkomunikasi di lapangan. Gawang Sorensen telah kebobolan gol bunuh diri sundulan beknya, Simon Poulsen, saat mereka kalah 0-2 dari Belanda di Grup E.

Sebagian penonton memasang alat pelindung di telinga mereka. "Suara yang dihasilkannya (vuvuzela) sangat berbahaya. Vuvuzela bisa menghasilkan bunyi berkekuatan 200 desibel, yang mirip suara lengkingan gajah," kata Lindy Gordon-Brown, pemilik usaha online penjualan alat pelindung telinga, kepada Reuters.

Keluhan seputar vuvuzela sebenarnya telah mencuat dan diungkapkan tim-tim sejak Piala Konfederasi, setahun lalu. Namun, FIFA bergeming dan tetap membolehkan vuvuzela di dalam stadion. Menurut Presiden FIFA Sepp Blatter, vuvuzela tak ubahnya drum atau kendang atau teriakan yel-yel di negara lain.

Panitia terbelah menyikapi kontroversi seputar vuvuzela. Direktur Eksekutif Panitia Lokal Danny Jordaan sempat melontarkan bakal mengevaluasi keberadaan vuvuzela di stadion-stadion. Namun, tak lama kemudian juru bicaranya, Rich Mkhondo, menegaskan, "Vuvuzela tidak dilarang. Seluruh dunia mencintai vuvuzela. Hanya kelompok minoritas yang membencinya," katanya.

Panitia hanya mengimbau agar vuvuzela tidak dibunyikan di dekat pinggir lapangan dan saat lagu kebangsaan berkumandang. Bagi mereka, vuvuzela adalah bagian tak terpisahkan dari sepak bola Afrika Selatan. Tanpa vuvuzela, bukan Piala Dunia 2010 Afrika Selatan namanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar