Kamis, 17 Juni 2010

Apartheid, Rugbi, dan Sepak bola

Suporter berkulit hitam dan putih membaur untuk mendukung tim Afrika Selatan di Piala Dunia 2010.

MESKI sudah dihapus dari bumi Afrika Selatan (Afsel) pada 1994, apartheid masih menjadi bayang-bayang menakutkan di negeri itu. Sebab, sejarahnya telah menggoreskan luka yang dalam, juga kepedihan yang rasanya butuh beberapa keturunan lagi untuk melupakannya.

Apartheid memang seperti hantu. Politik membedakan warna kulit itu hanya sebagai upaya mempertahankan hegemoni kulit putih. Sementara kulit hitam dan berwarna terus dalam tekanan.

Pembedaan itu tak hanya soal fasilitas, kesempatan, maupun hak. Soal budaya pun dengan sendirinya berbeda. Di era apartheid, kaum kulit putih berkuasa lebih suka bermain rugbi dan mereka mengagung-agungkannya. Sementara warga kulit hitam dan berwarna lebih kental dengan permainan sepak bola. Selain murah dan bisa dimainkan di mana saja, juga bisa menjadi media propaganda anti-apartheid.

Maka, rugbi dan sepak bola pun seperti menjadi bagian dari penegasan apartheid, seperti menunjukkan identitas. Rugbi milik orang putih, sepak bola orang kulit hitam.

Sampai sekarang, jika rugbi meraih kemenangan, maka hampir semua warga kulit putih keluar. Mereka melakukan pesta dan pawai di jalan-jalan. Apalagi, rugbi Afsel pernah menjadi juara dunia pada 1995 dan 2006. Seluruh kota seolah menjadi milik kulit putih.

Sebaliknya, sepak bola nyaris tak bisa berpesta sebesar itu. Dengan adanya Piala Dunia di Afrika Selatan, pemerintah setempat berharap event itu meleburkan sentimen ras yang masih tersisa. Maka, Pemerintah Afsel memasang spanduk besar-besar di pinggir jalan, bertuliskan: "Different tribe, one pride, one win". Maksudnya, berbeda-beda suku, tetapi satu kebanggaan dan kemenangan.

Hadirnya Piala Dunia di Afsel diharapkan menjadi pesta seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Maka, Piala Dunia diharap bisa membersihkan sisa-sisa sinisme apartheid, meski hanya sebagian.

Di jalan-jalan mulai terlihat pula orang kulit putih ikut meniup vuvuzela dan memberi dukungan kepada "Bafana Bafana". Namun, tetap saja jumlahnya belum signifikan. Sepak bola masih menjadi pesta kulit hitam yang belum bisa membaurkan semua suku.

Namun, setidaknya usaha pembauran itu ada dan pasti akan terasa. Di rugbi pun kini mulai diselipi beberapa pemain kulit hitam. Ini sebagai upaya agar kulit putih juga merasa memilikinya sehingga tak perlu ada pembedaan di semua bidang, termasuk selera olahraga.

Piala Dunia adalah barang mahal buat Afsel. Mereka sudah mengeluarkan miliaran dollar AS uintuk membiayainya. Keuntungan ekonomi mungkin akan didapatkan. Namun, yang keuntungan terbesar yang dikejar Pemerintah Afsel adalah penyatuan.

Dengan Piala Dunia, diharapkan rakyat Afsel semakin bersatu, membaur, dan tak lagi ada sinisme berdasarkan warna kulit. Semoga ada hasilnya. Setidaknya, Afsel telah melakukan usaha yang cukup besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar