Kamis, 17 Juni 2010

Dari Makassar ke Macassar

Makam Syekh Yusuf berada di dalam kubah hijau di Kampung Macassar, yang terletak 50 kilometer tenggara Cape Town, Afrika Selatan. Di tempat itu juga terdapat tugu untuk mengenang Syekh Yusuf, keturunan Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, yang dibuang VOC ke Tanjung Harapan dan menjadi cikal-bakal terbentuknya komunitas Muslim Cape Malay.

DARI Cape Town, Afrika Selatan, Selasa (15/6) siang, kami mengambil jalan tol N2 menuju ke arah tenggara. Setelah berjalan sekitar 40 kilometer, terhampar di sisi kanan perkampungan kulit hitam dengan rumah-rumah seng yang kumuh, Khayelitsha, sebelum akhirnya kami menemukan jalur keluar di Baden Powell Drive.

Dari situ tak terlalu sulit menemukan tempat ini, Kampung Macassar. Ya, Macassar dan Makassar memang berkaitan meski yang satu di Afsel dan yang lain di Sulawesi Selatan (Sulsel). Sebuah perjalanan panjang merentang ke belakang lebih dari 300 tahun lalu—yang membuat kedua tempat ini bersaudara.

Adalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati yang menjembatani dua tempat yang jaraknya terpaut 10.631 kilometer itu. Keturunan Raja Gowa di Sulsel itu datang bukan sebagai pedagang, melainkan sebagai tawanan politik Belanda, yang kala itu dilakukan kepanjangan tangannya, sebuah perusahaan dagang di Hindia Belanda, VOC. Alih- alih disisihkan dari negerinya, Syekh Yusuf justru memperluas ajaran Islam dan menjadi orang pertama yang membaca Al Quran di Afsel.

Perlawanan awal Syekh Yusuf bersama Sultan Ajung dari Bantam, Gowa, membuat pemerintah kolonial Belanda geram. Apalagi, dua kali Syekh Yusuf berhasil lepas dari tawanan Belanda. Belakangan ia dibujuk untuk menyerahkan diri dengan iming- iming bakal diampuni.

Janji tinggal janji. Syekh Yusuf malah ditangkap bersama keluarga dan pengikutnya. Di bawah pengawalan tentara bersenjata, mereka pun diasingkan ke Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), dengan melewati Batavia. Akan tetapi, belakangan Belanda khawatir jika Syekh Yusuf malah menjadi populer dan sukses menanamkan pengaruh di Ceylon.

Kembali, Belanda mengangkut Syekh Yusuf, keluarga, dan pengikut lebih jauh lagi. Tak tanggung-tanggung, kini tujuannya adalah Tanjung Harapan, yang ditemukan Bartholomeu Diaz dan dilanjutkan Vasco da Gamma pada akhir abad ke-15. Dua abad setelah itu, tepatnya 2 April 1694, kapal De Voetboog yang ditumpangi Syekh Yusuf dengan 49 anggota rombongan merapat. Di antara ke-49 orang itu, dua di antaranya adalah istri Syekh Yusuf, dua pembantu, 12 anak, 12 imam, dan sejumlah teman yang semuanya membawa keluarga.

Belajar sedikit

Setelah melewati beberapa ratus meter jalan kampung berpasir kekuningan, becek akibat hujan, dan bergelombang, di Kampung Macassar kami menemui Mohammad Zain Philander, tokoh setempat yang banyak tahu tentang Indonesia. ”Selamat siang, apa kabar,” ujar Zain ramah saat menyambut kami. Hanya itu bahasa Indonesia yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya, ia menggunakan bahasa Inggris dengan kami, atau bahasa Afrikaans dengan anak-istrinya.

”Saya tidak bisa berbahasa Indonesia. Belajar sedikit-sedikit dari buklet yang pernah diberikan Ibu Salfrida (mantan Konsul Jenderal Republik Indonesia di Cape Town) ini,” ujarnya seraya menunjukkan lembaran pelajaran bahasa Indonesia sederhana. ”Tetapi, anak saya fasih. Sayang, dia sedang tak ada di sini.”

Yang dimaksud adalah putri sulungnya, Haajirah Philander- Fanie, yang pernah belajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Zain bangga, anaknya bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Sekurangnya, ia merasa telah bisa mengaitkan dirinya dengan asal-usul nenek moyangnya.

Rumah Zain yang telah diubah menjadi penginapan terasa nyaman. Letaknya di ketinggian membuat pemandangan dari dalam rumah—yang dipenuhi pintu dan jendela kaca—langsung ke arah Table Mountain, tanpa halangan. Siang itu, gunung yang bagian tertingginya adalah 1.088 meter tersebut memang mirip meja bertaplak. Kabut menutupi bagian atas gunung yang praktis rata seperti meja.

Berbagai informasi ditempel di dinding rumah Zain, di antaranya peta Makassar, Sulsel, dengan salah satu titiknya adalah Makam Syekh Yusuf. ”Makam yang di sana cuma untuk menghormati saja. Makam sesungguhnya di sini,” ujar Zain.

Selain itu, juga tergantung sejumlah pigura anugerah bintang penghargaan, seperti The Order of Supreme Companions of OR Tambo yang diteken Presiden Afsel saat itu, Tabo Mbeki, serta gelar pahlawan nasional dari Presiden Indonesia ketika itu, Soeharto.

Pada peringatan 300 tahun budaya Muslim Cape tahun 1994, mantan Presiden Afsel Nelson Mandela mengatakan, ”Yang saya pelajari dari Syekh Yusuf tidak melulu Islam, tetapi juga motivasi untuk melawan apartheid karena tak ada bedanya antara hitam dan putih, budak dan orang bebas. Saya gembira ada Syekh Yusuf di Afrika Selatan.”

Konsentrasi kaum Muslim

Syekh Yusuf ternyata diterima dengan cukup terhormat di Afsel. Ia disambut langsung Gubernur Simon van der Stel di Tanjung Harapan, lalu ditempatkan di tanah pertanian Zandvleit, dekat dengan mulut Sungai Eerset di Cape, jauh dari Cape Town, pada 14 Juni 1694. Upaya VOC untuk mengisolasi Syekh Yusuf di Zandvleit ternyata tak berhasil.

Sebaliknya, Zandvleit menjadi titik pusat perlawanan para budak yang buron dari majikannya dan pengasingan lain dari Timur Jauh. Di sinilah titik awal terkonsentrasinya komunitas Muslim yang senasib. Kapal De Voetboog yang teronggok tak dipakai lagi lalu dipreteli pengikut Syekh Yusuf dan kayu-kayunya digunakan untuk membangun masjid pertama negeri itu, yang letaknya kira-kira di belakang makam Syekh Yusuf saat ini. Meriam- meriamnya kini menjadi penghias halaman makam.

Pengakuan sosok Syekh Yusuf bisa dilihat di depan dinding pemakaman yang berbentuk kubah. Tersebutkan di situ bahwa peletakan batu pertama kompleks pemakaman dilakukan oleh Sir Frederic de Waal, administrator Provinsi Cape yang pertama, pada 19 Desember 1925, bertepatan dengan 14 tahun penobatan Raja George V.

”Di pemakaman ini, setiap Kamis malam ada zikir. Begitu juga kalau orang Cape Malay akan naik haji, umumnya mereka berziarah dulu ke sini,” ujar Zain. ”Alhamdulillah, Syekh Yusuf dulu di sini. Jadi, ada yang mengajarkan Islam kepada kami.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar