Sabtu, 19 Juni 2010

Gelandangan di Samping Piala Dunia

Para gelandangan kedinginan di pinggir gedung pertokoan di Johannesburg. Suhu kota itu bisa minus 5 derajat di malam hari. Dari kalangan mereka sering muncul kejahatan.

JOHANNESBURG, — Gelandangan menjadi masalah cukup besar bagi Pemerintah Afrika Selatan (Afsel). Mereka pernah mengalami inflasi pada 2008 yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, juga kemampuan menyewa atau membeli rumah. Secara ekonomi, sebenarnya Afsel mengalami kemajuan. Bahkan, mereka berani menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 yang menghabiskan miliaran rand. Dua kisah yang berseberangan.

Namun, ekonomi Afsel belumlah merata. Menurut Growth Commission, penganggur di Afsel mencapai hampir 8 juta orang, termasuk tertinggi di dunia. Ini mengakibatkan banyak orang kehilangan kemampuan hidup secara layak. Wajar jika saat ini Afsel memiliki hampir 8 juta gelandangan.

Mereka sering disebut homeless di Afsel. Pemandangan para gelandangan ini seolah berdampingan dengan gemerlap Piala Dunia 2010. Sebuah potret kontras di Afsel.

Di satu sisi, kota tertata rapi dan mobil-mobil mewah berseliweran. Bahkan, nyaris susah menemukan pengguna sepeda motor dalam sehari. Sebab, budaya transportasi di sini memakai mobil pribadi. Sedangkan yang tak memiliki mobil pribadi mengandalkan angkutan umum (semacam angkot di Jakarta) dan kereta. Namun, kedua alat transportasi itu biasanya hanya berisi warga kulit hitam.

Keadaan ekonomi seperti itu membuat kejahatan begitu banyak. Untuk yang satu ini, Afsel juga tertinggi di dunia. Pencurian, pembunuhan, perampokan, kekerasan, dan pemerkosaan seolah menjadi cerita sehari-hari rakyat Afsel.

Itu pula yang membuat FIFA sempat ragu akan kesiapan Afsel menjadi tuan rumah. Namun, pemerintah sempat menjamin keamanan Piala Dunia.

Memang, secara umum Piala Dunia sejauh ini aman-aman saja. Namun, bukan berarti tak ada kejahatan. Justru sebaliknya, hadirnya Piala Dunia dianggap kesempatan besar bagi para kriminal yang biasanya juga gelandangan atau berasal dari daerah kumuh. Mereka berusaha memanfaatkan Piala Dunia dengan melancarkan aksinya.

Herannya, mereka sering menyasar wartawan. Pasalnya sudah jelas, wartawan selalu membawa peralatan berharga (kamera, laptop, handphone) yang mudah dijual. Sampai sekarang, sudah enam wartawan yang menjadi korban. Tiga dari Portugal, masing-masing satu dari Spanyol, Korea Selatan, dan Jerman.

Bahkan, tim peserta Piala Dunia pun disatroni. Setidaknya, Uruguay dan Yunani sudah merasakan menjadi korban kriminal. Tiga pemain Yunani dirampok dan kamar Uruguay dimasuki maling hingga uang 12.000 dollar AS melayang.

"Makin parah, karena Piala Dunia tak menyentuh rakyat bawah secara ekonomi. Rakyat hanya diajak bersenang-senang, tanpa meraih keuntungan apa-apa dari Piala Dunia," kata Philip Threeby asal Pretoria.

Dia menambahkan, Piala Dunia hanya permainan kaum elite. Rakyat tak mendapatkan tetesannya. Bahkan, merchandise pun dikuasai pengusaha besar. Hotel-hotel laku keras, itu juga memperkaya orang yang sudah kaya. Rakyat hanya kebagian menjual bendera-bendera atau vuvuzela yang tak seberapa besarnya.

"Rakyat butuh pekerjaan dan makan. Maka, saya tak yakin Piala Dunia yang hanya sebulan ini akan memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat bawah," tambahnya.

Piala Dunia 2010 memang sangat eksklusif. Semua peluang bisnisnya sudah diambil perusahaan-perusahaan besar. Rakyat tetap seperti biasa, mencari peluang mendapatkan uang dalam kondisi sulit.

Apalagi para gelandangan. Mereka hanya bisa melongo menyaksikan setiap keramaian. Mereka tak punya peluang apa pun untuk mendapatkan tetesan rezeki dari Piala Dunia, kecuali melakukan kejahatan kriminal.

Maka, wajar jika masyarakat gelandangan juga berbondong-bondong memeriahkan Piala Dunia. Mereka tak hanya berteriak, menari, menyanyi, dan meniup vuvuzela, tetapi juga mengejar kesempatan mencuri, merampok, mencopet, dan memeras.

"Hi... bra, come!"

Begitu mereka suka sok akrab menyapa orang asing. Terpengaruh dan terlena, barang berharga bisa melayang. Bahkan, jika tidak beruntung, nyawa pun bisa hilang. Sebab, pola kriminal di Afsel memang pragmatis dan praktis. Mereka tak mau berlama-lama dialog. Segera memberikan barang berharga atau uangnya, atau mereka tak segan-segan melakukan kekerasan dan pembunuhan.

Ya, mata-mata para gelandangan dan kaum kriminal itu kini semakin jelalatan dan tajam. Sebab, Piala Dunia telah menghadirkan orang-orang asing yang pasti membawa uang banyak. Itulah kesempatan dari Piala Dunia yang mereka miliki, maka harus dimanfaatkan. Caranya: melakukan kejahatan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar