Rabu, 14 Juli 2010

Indonesia dan (Mimpi) Piala Dunia

Ratusan pelajar Jakarta antre untuk melihat dan berfoto dengan trofi Piala Dunia FIFA pada acara FIFA World Cup Trophy Tour By Coca-Cola di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (26/1). Indonesia merupakan salah satu dari 83 negara di dunia yang disinggahi trofi yang akan diperebutkan dalam Piala Dunia FIFA 2010 di Afrika Selatan. Kapan Indonesia bisa ambil bagian secara langsung di event terakbar ini?

Piala Dunia 2010 sudah berakhir. Perhelatan sepak bola terakbar di muka bumi ini melahirkan juara dunia baru setelah Spanyol mengalahkan Belanda 1-0 di Stadion Soccer City, Johannesburg, Minggu (11/7/2010), lewat gol tunggal Andres Iniesta.

Ini adalah kali pertama dalam sejarah sepak bolanya, "El Matador" mengangkat trofi paling bergengsi tersebut. Para jugador "La Furia Roja" berhasil mengawinkan dua gelar, setelah pada tahun 2008 mereka juga menjadi juara Piala Eropa.

Adapun bagi Belanda, kegagalan ini menyisakan luka yang tentu saja sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, "The Flying Dutchmen" sudah menyimpan asa untuk mengakhiri paceklik gelar pada Piala Dunia, setelah kegagalannya pada final tahun 1974 dan 1978.

Bayang-bayang menjadi juara secara perlahan mengarah ke titik kenyataan seusai mereka menyingkirkan Brasil 3-2 pada perempat final, lalu menaklukkan Uruguay 3-2 di semifinal. Sayang, di partai puncak, "Oranje" tak mampu mengatasi gaya bermain tiki-taka milik Spanyol.

Memang, final ini menyisakan dua kisah yang bertolak belakang karena sang juara akan berpesta, dan yang kalah pasti meratapi kegagalannya. Namun, hal terpenting dari pertandingan yang dihelat selama satu bulan di Afrika Selatan ini adalah banyaknya pelajaran dan pengalaman yang bisa ditimba oleh semua insan sepak bola di seluruh dunia, termasuk Indonesia bahwa semua orang harus memiliki mimpi dan itu (mimpi) pasti bisa diwujudkan jika dibarengi kerja keras, kesabaran, konsistensi, dan keyakinan untuk bisa melaksanakannya.

Ya, Spanyol telah membuktikan hal tersebut. Dalam kurun waktu dua tahun, mereka sukses meraih dua gelar yang sudah diimpikan sejak berpuluh-puluh tahun, yaitu Piala Eropa dan Piala Dunia. Ketika jadi juara Eropa 2008, "El Matador" mengakhiri penantiannya selama 44 tahun, setelah meraihnya pada 1964. Kemudian, tahun ini "La Furia Roja" mewujudkan mimpinya selama 76 tahun, sejak pertama kali tampil pada Piala Dunia 1934.

"Sekarang kami juara, sangat sulit mengatakannya. Ini perasaan yang luar biasa saat menggenggam piala itu. Ini seperti mimpi menjadi nyata, terutama bisa menjuarai dua turnamen. Ini adalah hasil yang kami terima atas kerja keras kami selama ini," ujar gelandang Spanyol, Xavi Hernandez, seperti dilansir AFP.

Iniesta, yang menjadi penentu kesuksesan Spanyol, juga mengungkapkan hal serupa. Gelandang Barcelona, yang juga terpilih sebagai Pemain Terbaik pada partai final ini mengatakan, Spanyol pantas menjadi juara karena tim tampil solid selama turnamen.

"Saya belum percaya. Saya mempunyai kesempatan untuk mencetak gol penting bagi tim. Ini sangat luar biasa," ujar Iniesta.

"Ini sebuah kontribusi kecil di pertandingan yang sangat ketat dan keras. Dengan semua hal yang terjadi di lapangan, kami pantas mendapatkannya. Kami merasa bangga terhadap semua anggota tim, dari yang pertama sampai terakhir," tambahnya.

Spanyol pantas mendapatkan apa yang mereka impikan. Belajar dari pengalaman kalah 0-1 dari Swiss pada laga pembuka penyisihan grup membuat para pemain mawas diri. Alhasil, mereka bisa bangkit dari keterpurukan dan menjawab semua kritikan, dengan merengkuh semua laga tersisa sampai akhirnya menjadi juara.

"Pemain-pemain kami tahu betul sepak bola. Kekalahan dari Swiss pada fase grup sangat berat bagi kami. Kami tak pantas mendapatkannya. Kami telah berkembang dan kekalahan ini telah membawa kami ke final," kata Pelatih Spanyol, Vicente Del Bosque, seusai timnya menang 1-0 atas Jerman di semifinal.

Tak hanya Spanyol, Jerman pun menunjukkan sebuah hasil yang memuaskan atas kerja keras yang sudah mereka lakukan dalam satu dekade terakhir, pascakegagalan yang menyesakkan pada Piala Eropa 2000, ketika langsung terjegal pada babak penyisihan grup. Meskipun belum mampu menjadi juara, tetapi "Nationalmannschaft" berani menampil sesuatu yang berbeda pada Piala Dunia kali ini dengan membawa sebagian besar pasukan muda.

Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) membuat sebuah langkah besar dan berani setelah kehancuran "Der Panzer" pada dua pertandingan tersebut. DFB mewajibkan setiap klub, baik di Bundesliga maupun Divisi I, memiliki akademi sepak bola. Selain itu, klub-klub dilarang berinvestasi besar-besaran hanya untuk membeli pemain asing karena pemain muda lokal harus dinomorsatukan.

Ternyata, Jerman menuai hasil. Program 10 tahun menjadikan "Si Panser" raja sepak bola dunia sudah mulai menunjukkan tanda sangat positif ketika mereka tampil impresif pada putaran final Piala Dunia 2010. Lawan-lawan tangguh disingkirkan secara meyakinkan, termasuk Inggris (4-1) dan Argentina (4-0), sebelum menyerah 0-1 dari Spanyol pada semifinal.

Dalam partai perebutan posisi ketiga ketika menang 3-2 atas Uruguay, Jerman lagi-lagi menunjukkan kesuksesan para pemain mudanya. Pelatih Joachim Loew menurunkan hampir 100 persen pemain dengan usia di bawah 26 tahun (kecuali penjaga gawang Hans-Jorg Butt, yang berusia 36 tahun). Para pemain senior, seperti Miroslav Klose, Lukas Podolski dan Philipp Lahm, diistirahatkan.

Pada duel yang "tidak terlalu bergengsi" ini, Loew mencoba pemain-pemain baru, seperti Stefan Kiessling, Toni Kroos, Serdar Tasci, dan Dennis Aogo, di samping pasukan muda yang sudah langganan starter sejak penyisihan grup, yakni Sami Khedira, Thomas Mueller, Mesut Oesil, dan Marcell Jansen. Bahkan, Mueller yang baru melakukan debutnya di Piala Dunia meraih dua gelar. Dia jadi pencetak gol dengan torehan 5 gol, dan berhak atas penghargaan Sepatu Emas, serta jadi Pemain Muda Terbaik.

Ini sebuah indikasi, pada Piala Dunia 2014 di Brasil nanti, Jerman akan menjelma jadi tim paling menakutkan. Kematangan para pemain muda sekarang akan membuat Panser layak difavoritkan karena Mueller dan kawan-kawan diyakini sedang dalam masa emasnya pada empat tahun mendatang.

Selain Spanyol dan Jerman, masih ada prestasi beberapa negara yang patut dijadikan contoh, seperti Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang. Semangat pantang menyerah membuat tiga wakil Asia ini menghadirkan kejutan. Korut memang tersingkir di penyisihan grup, tetapi mereka sempat menyulitkan Brasil (bahkan bisa cetak 1 gol). Sementara itu, Korsel dan Jepang melangkah ke fase knock-out.

Bagaimana dengan Indonesia? Tampil di Piala Dunia tentu saja masih hanya sebatas angan-angan yang sulit digapai, jika melihat prestasi timnas. Bagaimana tidak, ketika negara lain berlomba-lomba untuk maju, PSSI justru melangkah, bahkan berlari ke belakang.

Hasil di SEA Games Laos 2009 menjadi bukti. Indonesia, yang dulu pernah menjadi kekuatan sepak bola Asia Tenggara, tak berdaya pada pesta olahraga tersebut. Melawan Laos, yang tidak punya tradisi sepak bola, Indonesia kalah 0-2. Hasil ini sangat menyakitkan. Laksana terkena pukulan palu godam Mike Tyson, wajah sepak bola Indonesia hancur dan remuk karena, sepanjang sejarah SEA Games, Indonesia tak pernah kalah dari Laos. Sejarah yang "diagung-agungkan" itu pun runtuh.

Namun, kita tak boleh terus terpuruk. PSSI harus "bangun" dan bisa belajar dari apa yang terjadi selama Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, serta mengambil hal-hal positif. Mimpi untuk meraih tiket gratis ke putaran final Piala Dunia dengan cara menjadi tuan rumah pertandingan terakbar ini pada tahun 2022 harus segera dikubur dalam-dalam setelah FIFA mencoret Indonesia dari daftar kandidat tuan rumah.

Kini, PSSI menghadapi suatu kenyataan bahwa perlu kerja keras, konsistensi, kesabaran dan semangat pantang menyerah agar timnas bisa tampil pada Piala Dunia. Seperti langkah Jerman, yang menomorsatukan pembinaan pemain muda, PSSI pun harus bisa menirunya dengan perhatian yang serius terhadap sekolah sepak bola di Tanah Air, serta memprioritaskan para pemain muda untuk tampil di kompetisi domestik level tinggi. Program instan sepeti mengirim para pemain "belajar" di Italia (Primavera), Uruguay, dan Paraguay bukanlah solusi yang tepat karena perlu pembinaan berjenjang sejak dini.

Rencana Ketua Umum PSSI Nurdin Halid untuk merekrut mantan pelatih timnas Turki di Piala Eropa 1996 dan 2008, Fatih Terim, sebagai arsitek untuk membawa Indonesia ke putaran final Piala Dunia 2018, merupakan sebuah langkah besar. Namun, hal tersebut hanya menjadi mubazir jika kualitas kompetisi internal PSSI masih amburadul. Fasilitas dan prasarana serta manajemen persebakbolaan juga menjadi komponen signifikan yang menunjang hal tersebut.

"Sebagai langkah awal, ini sudah sangat bagus. Tapi seperti pelatih lainnya, dia (Fatih Terim), juga membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik fasilitas maupun sarana pendukung. Kalaupun nanti Fatih Terim bisa meningkatkan prestasi dalam waktu lebih singkat, maka yang harus dipikirkan dalam jangka panjang adalah bagaimana membuat agar peningkatan tersebut berkesinambungan," ujar mantan kapten timnas Indonesia, Ponaryo Astaman.

Nah, daripada terus tidur dan hanyut oleh mimpi indahnya, dari sekarang PSSI harus segera bangun dan mulai berbenah. Dukungan dan pesan yang disampaikan oleh Presiden SBY kiranya bisa menjadi pemicu semangat untuk mewujudkan semua impian itu.

"Kita harus bersatu padu untuk majukan sepak bola Indonesia. Saya siap bersama-sama memajukan sepak bola Indonesia," ujar SBY, dalam acara menonton bareng di Puri Cikeas Indah, Bogor, Senin (12/7/2010) dini hari WIB, menjelang final Piala Dunia 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar