Rabu, 14 Juli 2010

"Viva Espana" dan Air Mata Belanda

Para pemain Spanyol bergembira setelah menang di final Piala Dunia 2010 melawan Belanda. Para pemain ini bakal mendapat bonus besar setelah turnamen ini.


Piala Dunia 2010 berlalu sudah. Puncak dari perhelatan akbar itu adalah gol Andres Iniesta ke gawang Belanda. Dan, dunia pun berteriak, Viva Espana! ”Sungguh tak dapat dipercaya dan tak terpahami. Kita telah memenangi Piala Dunia, semuanya ini tak bisa diungkapkan dalam kata-kata,” kata Iniesta.

Kecuali kegembiraan Iniesta beserta seluruh Spanyol, Piala Dunia 2010 ini juga menyisakan banyak kejadian yang luar biasa. Kata Franz Beckenbauer, ”Lapangan bola itu penuh sulapan dan tukang sulap.” Dan, salah satu penyulap luar biasa dalam Piala Dunia kali ini adalah Carles Puyol.

Puyol membuktikan bahwa asal orang mempunyai kemauan, gunung pun—ibaratnya—bisa ia pindahkan. Waktu kecil, Puyol dianggap tidak mempunyai banyak bakat. Namun, ia berkemauan dan berusaha keras untuk mencapai cita-citanya.

Sebagai anak, ia adalah pengagum Superman. Pada suatu hari Natal, ia ingin diberi hadiah kostum Superman. Orangtua Puyol, yang hanya petani, tak dapat memenuhi permintaan itu. Puyol nekat dan ingin menguji, apakah tanpa kostum Superman ia bisa terbang. Maka, terjunlah ia dari balkon rumahnya. Untunglah uji coba ini tak membawa celaka baginya.

Dan, sekian tahun kemudian, pada Piala Dunia ini, Puyol menyulap diri menjadi Superman lagi. Dalam pertandingan semifinal, Spanyol menggedor Jerman habis-habisan. Toh, gedoran mereka belum juga membuahkan gol. Lalu, pada menit ke-72 datanglah bola penjuru dari Xavi dan berlarilah Puyol dari kejauhan hampir enam belas meter. Kemudian, seperti Superman, ia terbang lalu menyundul bola ke gawang Manuel Neuer. Sundulan ”Superman” itu bagaikan sulapan yang mengantar Spanyol ke final.

Dunia bola menarik karena di dalamnya boleh terjadi sesuatu yang seperti sulapan dan irasional. Karena ketatnya persaingan di semifinal dan final, orang tak lagi puas dengan kalkulasi rasional dan strategis untuk mengetahui, siapakah yang bakal menang. Maka, orakel harus dicari.

Dan, kali ini si gurita Paul-lah yang dijadikan orakel. Lucunya, ramalan Paul ternyata benar: Spanyol menang lawan Jerman dan kemudian menang lagi lawan Belanda. Maka, begitu Piala Dunia usai, bukan hanya Thomas Mueller, Bastian Schweinsteiger, Sami Khedira, dan Mesut Oezil, tetapi juga Paul laris ditaksir. Kabarnya, seorang pengusaha Spanyol mau membeli Paul dengan 30.000 euro karena ramalannya yang jitu itu.

Tapi, lebih daripada sekadar sulapan dan irasionalitas, dunia bola ternyata juga bisa menjadi medan refleksi. Jerman kali ini tampil fenomenal. Salah satu fenomenanya yang mencolok adalah realitas multietnis kesebelasan mereka. Presiden Jerman yang baru saja dilantik, Christian Wulff, mengajak para politikus Jerman agar mau menarik pelajaran dari tim besutan Joachim Loew.

Politik Jerman dianggap sangat terbata-bata dalam menangani masalah multietnis. Sementara Loew berhasil memadukan nilai-nilai dasar Jerman dengan kreativitas kultural lain di luar Jerman. Hasilnya, bukan hanya sebuah kesebelasan Jerman yang menawan, melainkan juga sebuah warta tentang negara Jerman modern yang berani menyerap nilai-nilai kultural lain.

Kabinet Angela Merkel dinilai tidak mempunyai perencanaan. Anggotanya bekerja sesuai dengan kemauannya sendiri. Sementara Loew menyusun kesebelasannya dengan perencanaan yang amat terperinci. Kesebelasan Jerman tidak hanya memasang target, tetapi juga mencari jalan untuk mencapai target itu dan mengevaluasinya terus-menerus. Dalam perencanaan ini, pemain diajak untuk belajar agar makin hari mereka menjadi makin terampil dan matang.

Politik tak pernah mau kalah. Lain dengan sepak bola yang pernah harus kalah, seperti ketika Jerman dipukul Serbia. Kekalahan itu membuat mereka rendah hati dan mau belajar lagi. Politik tidak mempunyai kerendahan hati itu. Mereka hanya bisa sombong walaupun akhirnya semua janji dan programnya adalah omong kosong.

Piala Dunia tidak hanya menjadi cermin bagi politik lokal, tetapi juga politik global. Penduduk dunia, dari utara mau ke selatan, dari barat ke timur, dipersatukan oleh pertandingan-pertandingan bola. Segala perbedaan untuk sementara seakan hilang ketika warga dunia asyik mengamati Piala Dunia. Benarlah kata-kata: sepak bola adalah perang yang dikulturkan dan dijadikan permainan sehingga dengan cara luar biasa ia bisa mempersatukan dunia.

Namun, Piala Dunia tidak hanya meninggalkan kebahagiaan, perdamaian, dan kegembiraan. Piala Dunia juga meninggalkan air mata. Dan, air mata itu adalah air mata pemain-pemain Belanda. ”Sungguh sulit bagi kami untuk menanggungnya. Bayangkan, kami sudah begitu dekat dengan titel juara, lalu pada saat yang sama, kami berada begitu jauh darinya. Siapa yang tidak sedih,” kata Dirk Kuyt sambil berlinangan air matanya.

Rekannya, Wesley Sneijder, terus menangis. Teman-temannya mencoba menghiburnya, tetapi tak juga berhenti air matanya. Dan, kata Mark van Bommel, ”Kekalahan dari Spanyol ini akan terus menyertai saya seumur hidup saya.” Setelah dua trauma karena dua kali kalah di final Piala Dunia, 1974 dan 1978, inilah trauma ketiga yang harus ditanggung Belanda. Begitulah Piala Dunia 2010 ini menyisakan air matanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar