Rabu, 14 Juli 2010

Saatnya Gempur Afrika Selatan

Cape Town salah satu kota yang punya infrastruktur bagus dan lengkap, termasuk pelabuhan. Kota ini juga indah, salah satunya karena ikon Table Mopuntain.

AFRIKA Selatan (Afsel) bakal semakin populer dan bergairah setelah sukses menggelar Piala Dunia 2010. Pesta sepak bola dunia itu seolah menegaskan bahwa negeri ini sudah begitu maju dan punya banyak peluang ekonomi besar dan punya kekayaan besar pula untuk diajak kerja sama. Peluang itu sudah pasti dimanfaatkan beberapa negara dan Indonesia harus segera menggempurnya.

Sebagai negara yang ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya, Afsel tergolong sukses membangun imej baru. Terlepas dari kekurangan di sana-sini, Afsel telah meyakinkan dunia tentang kemampuannya mengatasi ancaman keamanan.

Dibanding tingkat kriminalitasnya yang amat tinggi, kasus kriminal di Afsel selama Piala Dunia tak terlalu memprihatinkan. Mereka juga mampu mengatasi ancaman teror kelompok ekstremis yang sebelumnya mengancam akan melakukan aksinya.

Meski kereta cepat belum siap beroperasi, Afsel juga telah menunjukkan infrastruktur yang baik. Mereka punya dua pelabuhan besar di Cape Town dan Durban, juga beberapa bandara yang bertaraf internasional. Jalan darat juga sudah merambah ke mana-mana dalam kondisi yang amat memuaskan. Nyaris tak pernah terjadi kemacetan seperti di Jakarta.

Mereka juga punya budaya yang rapi dan disiplin dalam berlalu lintas ataupun antre. Rasa saling menghormati antara ras juga semakin kuat sehingga makin menepis ketakutan perang saudara.

Sebuah kondisi yang menurut Duta Besar Indonesia untuk Afsel Syahril Sabaruddin amat menggiurkan. Bahkan, katanya, ini saatnya Indonesia harus mulai "menggempur" Afsel, terutama dalam bidang ekonomi dan budaya.

Secara ekonomi, Indonesia masih kecil bergulat di negeri ini. Volume perdagangannya di Afsel saja hanya 1,1 miliar dollar AS, jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

"Ini ironis. Presiden Afsel dan ketua partai berkuasa ANC selalu menyatakan bahwa Indonesia adalah sahabat dekat. Namun, kita belum banyak memanfaatkan kedekatan ini. Maka, mulai sekarang Indonesia harus mulai menggempur Afsel," tegas Syahril saat bertemu wartawan Indonesia di Sandton, Johannesburg, Minggu (11/7/2010).

Ironi itu cukup memprihatinkan. Indonesia termasuk paling tegas menentang apartheid di Afsel. Bahkan, Indonesia menolak warganya pergi ke Afsel sebagai bentuk protes terhadap praktik apartheid yang membeda-bedakan ras dan warna kulit, sementara beberapa negara lain dulu tak bersikap seperti itu.

"Begitu apartheid dihapus dan Afsel menuju demokrasi, justru negara lain yang memanfaatkan pasar di Afsel. Perdagangan kita kalah agresif dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand, apalagi dari China," tutur Syahril.

Ketua Indonesia Trade and Promotion Center (ITPC) Wawan Sudarmawan juga mengatakan, banyak peluang di Afsel yang belum dimanfaatkan Indonesia. Contohnya, batik belum banyak menyerang pasar Afsel, padahal tokoh besar Nelson Mandela sudah menjadi model.

Syahril Sabaruddin mengatakan, pihaknya akan menggelar program pendobrakan itu. Dia akan segera datang ke Jakarta untuk memberi kabar dan meyakinkan para pengusaha agar bermain di Afsel. Sebab, Indonesia tak bisa terus mengandalkan pasar Eropa. Selain itu, dia juga akan terus memopulerkan budaya Indonesia biar semakin dekat hubungannya.

"Kami akan memperkuat brand-brand Indonesia. Contohnya batik. Caranya, kami akan membuka Indonesia House. Korea Selatan dan China sudah lebih dulu memilikinya. Indonesia House nantinya sebagai pusat pengenalan dan memperkuat brand-brand dan budaya Indonesia di Afsel," terangnya.

Syahril juga menyayangkan, Pemerintah Indonesia juga kurang tanggap dan aktif menggarap Afsel. Jika negara lain sering mengirim menteri perdagangannya ke Afsel, Indonesia sangat jarang. Hanya sekali menteri perdagangan Indonesia datang ke Afsel pada 2006.

"Saya kira, pejabat kita juga sudah harus mulai aktif membuka jalan kerja sama di semua bidang," harapnya.

Afsel memang wilayah potensial. Mereka punya gaya hidup yang mirip-mirip orang Eropa, juga punya kekayaan berlimpah. Tinggal bagaimana Indonesia bersaing dengan negara lain untuk menggempur dan meraih keuntungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar